Teknologi

Perjalan ke Fingoli

Aku mandangin keluar jendela, gedung-gedung tinggi berubah jadi bayangan kabur di depan wajahku yang basah sama air mata. Marahku udah kayak bara api, makin lama makin panas, bikin hatiku serasa kebakar. Di sampingku, adikku yang masih bocah, Emma, cemberut. Mukanya persis kayak perasaan yang lagi ngublek-ngublek hatiku.

Pemerintah udah janji. Kalau kita kasih sampel DNA mutasi, kita bakal dapet kebebasan. Tapi, lagi-lagi kita malah digiring ke kota asing yang entah di mana. Hati ini rasanya nyeri kangen rumah lama. Seumur hidup, nggak pernah aku sesayang ini sama satu tempat, kecuali Hawaine.

Kaki bionikku refleks goyang-goyang waktu kita ninggalin kota-kota baru di bekas Amerika Serikat, terus ngelaju melewati lautan luas. Aku ketiduran diiringi suara ombak yang nepok-nepok bodi mobil, seirama sama rasa sakit yang mendera hati.


Tiga jam kemudian, aku kebangun. Kaget juga, kita udah setengah jalan ngelewatin perairan dangkal Samudra Atlantik. Dari balik kursi-kursi, aku ngeliat sekilas Kota Atlantis, kota yang dulu dikira ilang selamanya. Dua ratus tahun lalu, laut Atlantik makin dangkal, dan akhirnya kota itu ketahuan lagi keberadaannya.

Nggak lama, mobil kita berhenti, cakar-cakar yang nempel di bawahnya ditarik balik, terus kita ngambang ke tepi pantai. Aku langsung keluar bareng kakak-kakakku, tapi baru juga napak, aku udah jatuh tersungkur. Yah, aku emang gampang pusing abis perjalanan jauh.

Sebelum lupa, aku ngambil pemurni air dari sabuk dan buka tutupnya. Wadahnya aku isi penuh sama air laut yang asin. Dua menit kemudian, belnya bunyi, tanda airnya udah bisa diminum. Aku buru-buru nuangin air itu ke spaghetti kering biar bisa makan. Aku bagi-bagi sama Emma, yang dari tadi masih manyun gara-gara ninggalin Hawaine.

Matt sama Mark ngerayain ulang tahun mereka yang kesembilan belas dengan sepotong kue kecil. Aku kasih mereka hadiah sambil diliatin pejabat-pejabat pemerintah yang ngawal kita. Matt dapet pisau lipat dari pedagang Amazon di Batalla—bukan senjata sih, kalo menurut aturan pemerintah. Mark, aku kasih buku tua yang udah ditulis 300 tahun lalu, tahun 2019.

Tujuan kita? Pulau Fingoli, sebuah pulau kecil di pinggir Eurasia. Katanya, suhu di sana rata-rata 90°F, tapi karena pulaunya masih muda, cuacanya nggak bisa ditebak. Katanya juga, nggak ada pohon di sana, dan kecil kemungkinan ada manusia lain. Bahkan yang bermutasi sekalipun.

Aku lirik Mark, yang lagi serius baca buku, keenam kaki mekaniknya menopang badannya. Tiga tahun lalu, pas kita masih di militer, Mark kecelakaan parah. Kakinya hilang. Tapi, dia bukannya nyerah, malah muter-muter nyari suku cadang buat bikin kaki baru. Sekarang dia punya enam kaki bionik yang siap tempur. Mark nyadar aku merhatiin, dia langsung nutup bukunya.

“Apa lagi yang dipikirin, bocah?” kata Mark.

“Lu kocak. Gue cuma keinget waktu kita masih di militer. Waktu kita masih bebas dan nggak dikawal kayak tahanan begini.” Aku ngomong sambil melirik tajam ke pemimpin penjaga, yang langsung ngasih tatapan maut. Tapi aku cuma cengengesan balik. Matt diem aja, tapi jelas dia nggak nyaman.

Mark nyahut, “Udahlah, masa itu udah lewat. Jangan terlalu kepikiran, ntar malah nggak ngelihat masa depan.”

Aku langsung ngerti maksudnya. Itu kode kita sejak kecil—artinya bersiap buat kabur.

“Nanti tengah malam, bangunin kita semua. Kita liatin bintang bareng-bareng,” tambah Mark.

Aku makin yakin. Dia lagi kasih sinyal. Kita bakal kabur.


Aku kebangun di lantai marmer dingin. Jam di tangan nunjukin 11:57 malam. Mark udah bangun, sibuk masukin barang-barang ke karung. Aku bangunin Jamie, tante kita, terus jelasin rencananya. Matt bangunin Emma, dan buru-buru nyembunyiin robot kecil kita. Paman Kyle duduk, siap denger instruksi.

Kita semua nyelinap keluar dan lari ke mobil. Tiba-tiba ada teriakan dari belakang. Aku noleh. Seorang penjaga nangkep Kyle.

“Jangan berhenti! Lari terus!” teriak Kyle.

Air mataku ngucur. Aku lihat Mark jatuh, tangannya ketekuk aneh. Dia nyorong Emma ke depan.

“Emma! Lari secepat mungkin!” teriakku.

Aku dan Emma terus lari. Jamie bantuin Emma, sementara Matt tiba-tiba muncul dari arah mobil.

“Semua pintu mobil dijagain! Kita harus kabur ke arah lain!” katanya.

Tapi sebelum kita sempat gerak, tiba-tiba penjaga-penjaga udah ngepung kita. Senjata mereka semua ngarah ke kepala kita. Kyle dan Mark didorong ke tengah lingkaran.

Jamie mundur, Emma di belakangnya. Tapi yang bikin syok, Matt malah keluar dari lingkaran dan ngambil senjata dari salah satu pejabat.

“Pemerintah nyuruh gue ngawasin kalian. Imbalannya? Gue dapet kerjaan gue balik,” katanya dingin.

Kami semua melongo. Mark ngeliat kembarannya dengan mata penuh kekecewaan.

“Kalian semua ditahan karena mencoba kabur. Angkat tangan atau kami tembak,” lanjut Matt, suaranya dingin kayak es.

Mark nggak terima. Dia loncat maju, siap nonjok Matt. Tapi Matt udah angkat senjatanya, jarinya di pelatuk.

Malam itu, pengkhianatan dan ketakutan jadi satu. Dan takdir kami ada di ujung jari Matt.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock