CintaPersahabatanRomansa

Lucky I’m in Love with My Best Friend

Nathan dan Elisa. Dua nama yang selalu disebut berdampingan sejak mereka kecil. Mereka bahkan lahir di hari yang sama, seakan semesta sudah menggariskan bahwa mereka akan selalu bersama. Lima belas tahun persahabatan yang penuh tawa, ledekan, dan berbagi rahasia. Hanya sahabat. Tak lebih, tak kurang.

Tapi bagi Elisa, hatinya berkata lain. Sejak SMP, perasaannya mulai berubah. Tatapan Nathan yang dulu hanya sekadar teman, kini menjadi lebih dari itu. Sayangnya, Elisa memilih diam. Takut kehilangan, takut segalanya berubah jika ia berani mengungkapkan apa yang ia rasakan.

Hari itu, seperti biasa, Nathan datang ke kelas Elisa. Mereka sudah janjian untuk pulang bersama. Tapi saat sampai di kelas, ia menemukan Elisa yang tertidur pulas di bangkunya. Di sebelahnya, Gwen, sahabat Elisa, sedang berusaha membangunkannya.

“Bangun woi! Udah pulang, Elis! Astaga!” omel Gwen.

Nathan terkekeh. “Tidur lagi?”

Gwen melirik Nathan dan menyerah. “Udah, lo aja yang bangunin. Gue pulang dulu ya.”

Nathan mengangguk, lalu duduk di samping Elisa. Ia menatap wajah damai gadis itu. Napasnya teratur, sesekali bibirnya menggumam sesuatu yang tak jelas. Entah kenapa, pemandangan ini selalu membuat Nathan merasa nyaman.

“Elisa…” panggilnya pelan. Tak ada reaksi.

“El… bangun, woy.”

“Eugh… iya, iya, Gwen. Lima menit lagi…” racau Elisa masih dalam keadaan setengah sadar.

Nathan mendengus. “Eh, monyet. Ini gue, Nathan.”

Elisa menggeliat malas. “Tumben lo pedes gitu ngomongnya, Gwen…”

Baru saja hendak berdiri, ia tersadar.

“EH, LAH?! KOK ELO SIH, NATH?!” serunya panik.

“Santai, buk.”

“LO NGAPAIN DI SINI?! JAM SEGINI LAGI! GWEN MANA?!”

“Pulang,” jawab Nathan datar.

Elisa melongo. Sebelum ia bisa membalas, Nathan sudah menarik tangannya.

“Buruan pulang, ntar nyokap gue ceramahin gue kalo pulang kesorean.”

“Dih, anak mami.”

“Nyokap gue perhatian, namanya.”

“Ngeles aja lu, dodol.”

Nathan hanya terkekeh dan terus menarik Elisa ke parkiran.


Sesampainya di rumah Nathan, Elisa langsung menjatuhkan dirinya di sofa ruang tamu. Sementara itu, Nathan naik ke atas untuk mengganti baju. Elisa asyik bermain ponsel sampai suara langkah kaki Nathan terdengar menuruni tangga.

Ia muncul dengan senyum super lebar.

“Kesambet apaan lo?” tanya Elisa curiga.

“EH, EL! LO TAU NGGAK?!” seru Nathan heboh.

“Yeuu, kadal gurun! Lo aja belum ngomong, gimana gue mau tau?!”

“Gue tadi dichat sama… CELINE! Miapa?! Gue bisa baper lagi, trus bisa aja naksir lagi! Hahaha!”

JEDERR!

Dunia Elisa seperti runtuh seketika. Dadanya sesak. Nama itu, Celine, adalah nama yang ia takutkan sejak SMP. Nathan memang pernah menyukai Celine dulu. Dan sekarang… apa dia akan jatuh hati lagi?

Elisa mencoba bersikap biasa saja.

“Yang nanya?” balasnya dingin.

Nathan mengernyit. “Ya lo tadi yang nanya, bego!”

“Yaudah, congrats buat lo. Gue pulang dulu ya.” Elisa cepat-cepat bangkit. “Titip salam buat nyokap. Assalamualaikum.”

Nathan terdiam. Tatapan mata Elisa tidak bisa bohong. Dia yakin, sahabatnya baru saja cemburu. Dan di situlah, untuk pertama kalinya, Nathan sadar. Ia juga punya perasaan yang sama.


Keesokan harinya, saat istirahat, Elisa mengibas-ngibaskan tangannya sambil mengeluh.

“Nath, kenapa hari ini gerah banget sih?”

“Lo ngomong sama gue apa sama buku?”

“Sama lo lah.” Elisa merotasikan matanya. “Iketin rambut gue dong, gue mau nulis.”

Nathan mengambil ikat rambut dari tangan Elisa dan mulai mengikat rambutnya. “Dasar anak cewek, makanya botakin aja tuh pala lo.”

“Dih, kok nyuruh?! Lo aja sono botakin sendiri pala lo!”

“Ntar gue nggak ganteng lagi, si Celine nggak naksir lagi ama gue. Kalo si Celine nggak naksir, gue nggak punya pacar. Kalo gue nggak punya pacar, gue-“

“Bawel!” potong Elisa.

Nathan hanya tertawa, tetap melanjutkan mengikat rambut sahabatnya.

“Gue suka sama cowok,” kata Elisa tiba-tiba. “Dulu dia item, kucel, dekil, pokoknya jelek banget. Tapi sekarang, gue suka. Eh, sayang malah.”

Nathan berhenti. Jantungnya berdetak lebih cepat.

“KOK LO GA CERITA SIH?!”

Elisa menatapnya. “Cowok yang gue suka itu, lahir di hari yang sama kayak gue…”

Nathan nyaris loncat dari kursinya. “BERARTI SAMA KAYAK GUE JUGA?! Ntar kita ultah rayain bertiga, yok!”

“Gue belum selesai cerita.” Elisa menahan tawanya.

Nathan diam, menunggu dengan penuh harap.

“Jadi dulu gue lahir barengan sama bayi super gemes. Terus nyokap gue sahabatan sama nyokap dia. Waktu umur tiga tahun, kita ketemu lagi. Gue inget, rumahnya punya banyak mobil-mobilan. Gue main sama dia sampai sore, terus nyokap nyuruh gue pulang, dan gue nangis.”

Nathan tertawa. “Lo ngemis-ngemis nggak mau pulang, kan? Terus nyokap lo janji, lo boleh main kapan aja, asal nggak rewel?”

Elisa tersenyum. “Seratus buat lo. Karena gue udah cerita tentang cowok yang gue suka, maka gue menyimpulkan… gue suka sama lo.”

Nathan terkesiap. Ini yang ia tunggu.

“Sebenernya gue juga. Tapi nggak tau kapan mulai suka sama lo.”

“SERIUSAN?!” Mata Elisa membesar. “Trus, Celine?”

“Bercanda doang, hehe.”

Seketika pipi Elisa memerah. Ia malu. Atau mungkin… bahagia?

Nathan tersenyum, lalu menatapnya dalam.

“So, would you be mine?”

Elisa mengangguk antusias. “Aku sih yes!”

Dan sejak saat itu, mereka bukan hanya sahabat. Mereka adalah bukti bahwa tidak semua hubungan antara laki-laki dan perempuan hanya sebatas sahabat.


Cerpen Karangan: Via CVR

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock