DramaKehidupan

Keris Warisan: Antara Logika dan Takdir

Aku hanya bisa menunduk, tak sanggup menatap dua orang di depanku. Ribuan kata keluar dari mulut mereka—nasehat, rayuan, bahkan ancaman. Aku hanya memperhatikan bibir hitam mereka yang terus menari.

“Kau mengerti, Nak?” Ayah menepuk pundakku, suaranya penuh harap.

“Paman harap kamu bersedia mengemban tugas mulia ini,” tambah Paman, mencoba meyakinkanku.

“Ayah, Paman, biarkan aku berpikir dulu,” akhirnya aku bersuara setelah hampir satu jam hanya diam mendengarkan mereka.

“Pikirkan baik-baik. Ini demi keluarga kita. Ayah harap kamu mengambil keputusan yang bijaksana.” Kata-kata Ayah menjadi penutup sebelum motor matik hitam mereka menghilang dari halaman kosku.

Mereka datang membawa amanat keluarga besar di kampung: harapan agar aku bersedia menjadi penjaga keris pusaka peninggalan leluhur. Katanya, aku yang terpilih untuk tugas ini. Jika menolak, keluarga akan ditimpa bencana.

Tiga hari kemudian, aku menelepon Ayah dan menyatakan penolakanku. Aku beralasan, kuliahku memasuki semester akhir, aku ingin fokus menyelesaikan tugas-tugas. Namun, sejujurnya, pikiranku yang rasional menolak mempercayai hal mistis seperti itu.


1 Pesan Diterima!
Dari: Adik
“Kakak, Intan anaknya Om Ketut sakit keras, sekarang dirawat di rumah sakit. Mungkin ini bencana karena kakak nggak mau jadi penjaga keris…”

Aku menatap SMS itu lama. Ah, tidak mungkin. Intan memang dari kecil sering sakit. Kebetulan saja. Aku menggelengkan kepala, menepis kekhawatiran yang tiba-tiba muncul. Namun malam itu, aku gelisah. Dalam tidur, aku bermimpi didatangi seorang pria berpakaian adat Bali, memegang bungkusan kain kuning berisi keris. Aku terbangun dengan keringat dingin.

Keesokan harinya, pesan lain masuk.

1 Pesan Diterima!
Dari: Adik
“Baru saja Paman di Palu nelpon. Katanya anaknya diceraikan suaminya tanpa alasan yang jelas. Kakak, cobalah pikir lagi. Jangan biarkan keluarga kita terus dilanda bencana.”

Aku menggeram. “Ahh… persetan. Masalah orang cerai, kenapa aku yang disalahkan?” Tapi… apakah benar ini salahku? Aku mulai bertarung dengan pikiranku sendiri.

Hari-hariku penuh kegelisahan. Tiap malam aku bermimpi dikejar keris. Kabar dari kampung semakin buruk—ternak mati, kebun karet terbakar, toko dibobol maling, sanak saudara sakit. Aku tetap mencoba berpikir logis. Ini semua kebetulan, bukan karena aku menolak tugas menjaga keris. Leluhur tidak mungkin membebankan nasib keluarga pada seorang keturunannya, kan?


Suatu pagi, aku berdiri di depan sebuah spanduk besar:
“Selamat Datang Peserta Seminar, Mengenal Lebih Dekat Keris Bali.”

Bodohnya, aku langsung mengiyakan permintaan Roy untuk menggantikannya tanpa menanyakan materi seminar. Aku masuk, berpikir tak ada salahnya sekalian mencari tahu.

Pukul 08.35
Pembicara sedang menjelaskan filosofi keris.
“Keris adalah simbol kehormatan bagi orang Bali. Dahulu, keris juga menunjukkan status seseorang…”

Ponselku bergetar. Panggilan dari Adik.
“Ada apa? Aku sedang seminar.”
“Aku sama Ayah lagi dalam perjalanan ke kos Kakak.”
“Kenapa?”
“Ada hal penting yang mau mereka sampaikan.”
“Baik, aku segera pulang.”

Aku menutup telepon dengan hati gelisah. Orangtuaku tidak pernah datang ke tempat kos selama aku kuliah. Ada apa?

Aku berpamitan pada teman-teman dan buru-buru keluar. Tapi saat menyebrang jalan…

TIIIIIIITTTT!!!!

Aku tersentak. Sebuah benda besar melaju cepat ke arahku. Pikiranku terlambat menganalisis. Saat aku sadar… tubuhku sudah terlambat bereaksi.


Aku berada di sebuah tempat yang menyerupai bioskop. Di depanku, layar besar menampilkan adegan dua pria gagah di tengah kerumunan. Dua perempuan menggendong anak kecil, wajah mereka penuh kesedihan.

Adegan berubah. Perahu layar berwarna merah, hitam, dan putih melaju di lautan. Di perahu itu, dua pria duduk menghadap seorang lelaki berpakaian bak raja.

“Depih, aku dengar kau memiliki pasukan wong samar,” ujar sang raja.

Salah satu pria yang mirip Ayah, atau mungkin mirip aku, menjawab, “Benar, Gusti Patih. Aku membawa 2000 pasukan wong samar. Kau bisa merasakan perahu kita bergerak lamban karena mereka berada di dalamnya.”

“Bagus! Aku harap kita pulang dengan kemenangan.”

Pria bernama Depih mencabut keris dari pinggangnya, mengorbankan seekor ayam hitam. Angin berhembus kencang. Suara ribuan kuda menggema.

Aku tersentak. Keris di tangan Depih tiba-tiba bertambah panjang, ujungnya mengarah padaku.

“Tidak!” Aku berteriak, berlari keluar dari bioskop aneh itu. Keris itu terus mengejarku. Aku melihat kedua orangtuaku dan berusaha berlari ke arah mereka.

Lalu, semuanya gelap.


“Dokter! Dia siuman!”

Aku membuka mata. Tubuhku terasa sakit. Selang infus menghiasi lenganku, kaki kananku diperban. Di sebelahku, Ayah dan Adik menatapku penuh kekhawatiran.

“Aku kenapa?” suaraku serak.

Ayah menjelaskan: aku mengalami kecelakaan saat pulang dari seminar. Sudah tiga hari aku koma.

Aku menceritakan mimpiku pada Ayah. Ia mengangguk, lalu berkata, “Orang dalam mimpimu itu I Depih, leluhur kita. Dia memang ikut berperang dan pulang membawa kemenangan. Keris yang kau tolak itu bukan sembarang benda. Itu bukti sejarah keluarga kita.”


Di depanku, tiga buah keris tergolek. Aku mengangkatnya satu per satu. Kali ini, aku melihatnya dengan perspektif berbeda.

Aku menerima tugas menjaga keris pusaka. Bukan karena takut bencana, tapi karena aku sadar—benda ini bukan sekadar besi berukir. Ia simbol perjuangan dan prestasi leluhurku.

Aku tak perlu membawanya ke mana-mana. Setiap 15 hari sekali, aku hanya perlu membersihkannya agar tidak berkarat. Dan kuliahku? Tetap berjalan seperti biasa.

Kini aku paham, menjaga warisan leluhur bukan sekadar soal kepercayaan. Ini tentang menghormati sejarah keluarga. Tentang memahami bahwa di balik setiap benda pusaka, ada cerita panjang yang membentuk kita hari ini.

Seperti pamor sebilah keris, begitulah jalan hidup manusia.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock