Anak-anakPersahabatan

Jejak Kucing di Hati

Siang itu, langit terasa begitu cerah saat aku pulang dari sekolah. Langkah kakiku terhenti ketika melihat seekor kucing berbaring di atas kursi kayu depan pintu rumah. Bulunya yang kusut dan tubuhnya yang kurus membuatku yakin bahwa dia adalah kucing liar. Matanya setengah terpejam, seolah lelah setelah berjuang mencari makan. Aku mengamatinya sebentar, lalu masuk ke dalam rumah untuk membersihkan diri dan makan.

Saat aku sedang asyik menyantap makan siang, kucing itu mendekat dengan langkah pelan. Aku mengambil sepotong ikan dari piringku dan memberikannya padanya. Dia melahapnya dengan cepat, seolah takut makanannya akan hilang. Setelah kenyang, dia berbaring di lantai dan tertidur. Aku duduk di sebelahnya, perlahan mengusap bulunya yang kotor. Dia tidak bergerak, hanya mendengkur pelan, seolah merasa aman. Aku membiarkannya tidur di sofa ruang tamu, sementara aku melanjutkan aktivitasku.

Keesokan harinya, kucing itu tidak ada di kursi kayu. Aku berpikir mungkin dia sedang menjelajah. Namun, siang berikutnya, dia kembali lagi, berbaring dengan tenang di tempat yang sama. Aku mendekatinya, mengusap bulunya yang kini terlihat lebih bersih. Dia tidak merasa terganggu, malah mendekatkan kepalanya ke tanganku. Sejak saat itu, dia sering datang ke rumahku, meski tidak setiap hari. Aku mulai menyukai kehadirannya, memberinya nama Saly.

Beberapa minggu kemudian, kejutan datang. Seekor kucing baru muncul, bulunya oranye dan putih. Aku memberinya nama Aba. Anehnya, Saly dan Aba terlihat akur, seolah mereka sudah saling mengenal. Mereka sering masuk ke rumahku, menjelajahi setiap ruangan seperti sedang berpetualang. Kadang mereka melompat ke kasurku, dan aku harus mengusir mereka dengan lembut karena takut ibu marah. Tapi mereka selalu kembali, seolah rumahku adalah tempat mereka merasa aman.

Hari-hari berlalu, Saly dan Aba menjadi bagian dari rutinitasku. Namun, suatu hari, mereka menghilang. Dua bulan berlalu tanpa kabar dari mereka. Aku mulai khawatir, tapi suatu siang, saat aku pulang sekolah, aku mendengar suara kecil dari arah kasur dekat mushola. Aku mendekat dan menemukan Saly sedang berbaring di antara tumpukan baju. Di sampingnya, tiga anak kucing kecil bergerak-gerak lucu. Mataku berbinar melihat mereka. Tapi Aba tidak ada. Aku bertanya-tanya ke mana dia pergi.

Anak-anak kucing itu memiliki bulu yang berbeda-beda: satu oranye dan putih, satu hitam dan putih, dan satu lagi campuran putih, hitam, dan oranye. Aku ingin memegang mereka, tapi takut Saly marah. Aku memanggil tetanggaku untuk membantu memindahkan mereka ke kardus. Aku masih kecil, tidak tahu cara merawat anak kucing, tapi aku senang bisa melihat mereka tumbuh. Aku belajar memegang mereka dengan hati-hati, bermain dengan mereka saat Saly tidak ada.

Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Suatu pagi, Saly dan anak-anaknya menghilang. Aku mencari mereka di sekitar rumah, tapi tidak menemukan jejak. Beberapa hari kemudian, aku melihat Aba sekali lagi. Dia datang seperti ingin menyampaikan sesuatu, mungkin salam perpisahan. Setelah itu, dia pun pergi, dan aku tidak pernah melihatnya lagi.

Kini, rumahku terasa sepi tanpa kehadiran mereka. Tapi aku tahu, Saly, Aba, dan anak-anak kucing itu telah memberikanku kenangan indah. Mereka mengajarkanku tentang kasih sayang, tanggung jawab, dan kehilangan. Mungkin suatu hari nanti, mereka akan kembali, atau mungkin tidak. Tapi satu hal yang pasti, mereka akan selalu ada di hatiku.

Selamat tinggal, teman-temanku. Sampai jumpa lagi, suatu hari nanti.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock