Misteri

Janji Kelingking

Aku selalu ingat apa yang dikatakan Rudi waktu kecil.

“Kalau kau mengingkari janji kelingking, kau akan mati dalam setahun.”

Saat ini, aku berdiri di bawah pohon besar di halaman rumah tua miliknya, menatap jendela kamar lamanya. Dulu, aku sering memanggilnya dari sini, meneriakkan namanya agar dia keluar dan bermain denganku.

Tali ayunan yang dulu tergantung di dahan pohon itu kini hanya meninggalkan simpul usang. Banyak yang bilang ayunan itu digunakan oleh Pak Bambang, ayah Rudi, untuk mengakhiri hidupnya, tapi itu omong kosong. Ayunan itu milik Rudi, dan tempat ayahnya gantung diri sebenarnya adalah gudang tua di belakang rumah.

Rumah ini sudah kosong selama 15 tahun. Biaya renovasi terlalu mahal, lebih besar dari nilai rumah itu sendiri. Aku kembali ke sini bukan untuk mengenang masa lalu, melainkan untuk menepati salah satu rahasia yang masih kusimpan dengan baik. Sesuatu yang pernah kami sumpahkan dengan janji kelingking.

Rudi tak pernah sembarangan menggunakan janji kelingking. Dia bilang kalau janji itu sering dibuat tanpa alasan kuat, maka kekuatannya akan memudar.

Waktu kecil, kami sering bermain di hutan belakang rumah. Kami menyusuri sungai kecil yang membelah hutan, berburu burung dengan ketapel, dan mencari gambar-gambar kuno di batu-batu besar. Suatu hari, saat kami berumur 12 tahun, Rudi berteriak kegirangan mengatakan bahwa dia menemukan lukisan kuno. Tapi ketika aku melihatnya, itu hanya gambar anjing biru—satu-satunya binatang yang bisa digambarnya dengan cukup baik. Warnanya juga persis seperti cat yang baru saja dipakai ayahnya untuk mengecat kotak surat mereka.

Aku pura-pura percaya, karena aku tahu hidup Rudi tak lebih baik dari hidupku. Ayahnya lebih kejam daripada ayahku, jadi biarlah dia sedikit berkhayal.

Hari itu, kami berjalan terlalu jauh mengikuti sungai. Ketika aku sadar betapa jauhnya kami dari rumah, aku mulai merasa tidak nyaman. Tapi aku tidak mau terlihat pengecut, jadi aku bilang pada Rudi, “Bagaimana kalau kita ikuti sungai ini ke arah utara?”

“Maksudmu pulang?” tanyanya sambil tertawa.

Kami terus berjalan, hingga akhirnya kami melihat sesuatu yang aneh di dasar tebing tinggi. Sebuah mobil tua, ringsek, dan sebagian tenggelam di dalam air. Rudi, yang memang menyukai mobil, langsung mengenali modelnya—sebuah sedan keluaran lama. Kami bertanya-tanya bagaimana mobil itu bisa sampai ke sana, karena bahkan mobil off-road pun akan kesulitan mencapai tempat itu.

“Jatuh dari atas,” kata Rudi sambil menunjuk puncak tebing.

Ketika kami mendekat, kami berpikir mobil itu kosong, sampai aku merasakan sesuatu saat berdiri di atas batang pohon tumbang yang terendam air. Ketika aku mengangkat kakiku, sesuatu tertarik ke permukaan.

Kain.

Ketika aku menariknya lebih jauh, aku melihat kain itu bukanlah dedaunan atau ranting yang tersangkut di kakiku, melainkan baju biru yang melilit tubuh seseorang yang sudah membusuk di dalam air.

Aku berteriak dan jatuh ke belakang, tepat di atas benda yang lain. Sesuatu yang lunak dan dingin.

Sosok kedua.

Kami menemukan dua mayat di sana, terjebak di antara akar-akar dan lumpur. Wajah mereka mengerikan, dimakan ikan dan yuyu sungai. Salah satu dari mereka seakan tersenyum, meskipun bibirnya sudah tidak ada.

Setelah berusaha menguasai diri, aku mengalihkan perhatian Rudi ke bagasi mobil, berharap menemukan sesuatu yang lebih mudah diterima oleh pikiranku yang ketakutan.

Dan kami menemukannya.

Sebuah tas olahraga besar, penuh dengan uang.

Kami berdebat apakah harus melapor atau tidak. Akhirnya, kami memutuskan untuk menyembunyikannya dan menunggu berita di koran atau televisi. Jika tak ada yang mencarinya, maka itu berarti uang itu boleh menjadi milik kami.

Kami butuh tempat yang aman untuk menyimpannya. Maka, di bawah pohon tempat ayunan Rudi tergantung, kami menggali lubang dan mengubur tas itu, dengan kesepakatan bahwa kami hanya bisa menggali kembali bersama.

Dan kami mengunci janji itu dengan janji kelingking.

Namun, tak lama setelah itu, ayah Rudi ditemukan gantung diri di gudang. Rudi dan ibunya pindah ke kota lain, dan kami kehilangan kontak. Sebelum pergi, Rudi mengingatkanku, “Kalau aku tidak bisa kembali, kita akan bertemu lagi di sini setelah 31 tahun.”

“Kenapa 31?”

“Karena itu angka keberuntunganmu, kan?”

Aku tak pernah benar-benar menganggap serius janji itu. Sampai akhirnya aku mendengar kabar bahwa Rudi meninggal pada bulan desember tahun kemarin ini karena covid.

Sekarang, tepat 31 tahun kemudian, aku kembali dengan sekop di tanganku. Aku menggali dengan hati berdebar, penasaran apakah tas itu masih ada.

Lima menit menggali, sekopku mengenai sesuatu yang kenyal. Aku menariknya keluar.

Tas itu masih ada.

Namun, saat aku membukanya, hanya ada secarik kertas kusam di dalamnya. Dengan tangan gemetar, aku membukanya dan membaca tulisan tangan Rudi yang berantakan.

“MAAF.”

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock