Komedi

Hari Pengering Rambut

Aku tidak tahu kalau ada hari yang terlalu panas yang bahkan bisa membuat pesawat gagal terbang, tapi ternyata itu memang mungkin. Harusnya aku sudah curiga, karena panasnya benar-benar tidak masuk akal. Aku berusaha tetap bertanggung jawab dengan membawa anjingku jalan-jalan, tapi begitu aku membuka pintu, dia menatapku dengan ekspresi “Serius, bos?”.

Oke, fair. Aku sendiri rasanya mau melepas pakaian dan berjalan dengan hanya menggunakan daun pisang, apalagi dia yang berbulu tebal.

Begitu kembali ke dalam, aku merogoh kaos bekas dari keranjang cucian untuk jadi lap keringat. Anjingku langsung menyelipkan diri di bawah sofa.

Ibuku dulu menyebut hari-hari seperti ini “hari pengering rambut”. Sangat pas, karena meskipun ada angin, panasnya tetap membungkus wajah seperti hembusan napas naga yang makan durian. Udara penuh dengan aroma sampah yang kepanasan, dan aku mulai memahami kenapa ada orang yang kehilangan akal dan mulai bertindak brutal dalam cuaca seperti ini. Tapi bukan aku. Aku terlalu lelah. Panas ini membuatku berjalan seperti zombie mabuk di trotoar, melompat dari satu bayangan kecil ke bayangan lainnya demi bertahan hidup.

Lalu datang kabar buruknya: tidak ada penerbangan hari ini. Aku seharusnya terbang ke luar kota untuk menghadiri pemakaman ibuku. Masalahnya, suhu udara telah mencapai level “kamu becanda, kan?” dan semua penerbangan dibatalkan.

Aku menelepon kakakku.

“Jadi, nggak ada penerbangan sama sekali?” tanyanya. Aku bisa mendengar keponakanku berteriak sesuatu tentang sereal di latar belakang. Aku sudah curiga anak itu memiliki paru-paru bertenaga mesin jet.

“Sama sekali nggak ada,” kataku. “Peringatan cuaca ekstrem.”

“Ya Tuhan,” katanya. “Dan kamu baru pesan tiketnya hari ini?”

Oke, aku tahu dia akan mengungkit ini. Saudara perempuan tidak pernah melewatkan kesempatan untuk berkata, “Aku sudah bilang, kan?”

“Ya, ya,” jawabku. “Terus aku harus gimana?”

“Bukan urusanku,” katanya, lalu terdengar suara dia menegur anaknya karena berteriak seperti hendak memimpin perang Viking. “Yang aku tahu, aku akan ada di gereja jam lima sore, dan kamu juga harus ada di sana.”

Oke. Sangat membantu sekali.

Aku menatap ekor anjingku yang menjulur dari bawah sofa. “Aku nggak bisa nyetir sejauh itu dalam satu hari.”

“Terserah,” kata kakakku. “Pokoknya datang!”

Aku menutup telepon. Tidak ada pesawat. Tidak ada pilihan. Aku pun melakukan satu-satunya hal yang masuk akal dalam situasi ini: merangkak ke bawah sofa untuk bergabung dengan anjingku.

Ternyata, tempat persembunyian anjing bukan surga yang kuharapkan. Lebih panas dari sauna. Dan aku menemukan satu kaus kaki misterius yang tidak kuingat pernah kumiliki.

“Hei, buddy,” kataku pada anjingku. “Gimana kamu betah di sini?”

Dia hanya berkedip malas, seolah berkata, “Manusia, kamu nggak akan pernah mengerti.”

Aku akhirnya keluar dari bawah sofa dan mencoba berpikir. Tidak ada jalan untuk sampai ke pemakaman tepat waktu. Satu-satunya pilihan adalah… menerima kenyataan. Aku mengirim pesan ke grup keluarga: “Maaf, nggak bisa datang. Cuaca gila. Jangan warisi hutang Ibu ke aku.”

Lalu, karena rasa bersalah, aku mulai membersihkan rumah. Aku tahu, ibuku akan sangat marah kalau dia tahu aku melewatkan pemakamannya hanya untuk rebahan di rumah berantakan. Jadi, demi menghormatinya, aku mulai dengan membersihkan kaca kamar mandi yang penuh cipratan pasta gigi. Hasilnya, aku terkejut. Ternyata aku bisa melihat refleksi wajahku di sana! Siapa sangka?

Anjingku menatapku dengan tatapan ngeri saat aku mulai menyedot debu. Aku bisa membaca pikirannya: “Manusia, kenapa kamu menghancurkan tempat persembunyianku?”

Selesai bersih-bersih, aku merasa seperti baru lulus akademi militer. Berkeringat, capek, tapi ada rasa puas. Aku melihat ke anjingku. “Oke, bro, kita butuh udara segar.”

Kami pun berjalan ke taman terdekat. Panasnya masih gila, tapi ada satu pohon rindang yang menyelamatkan kami. Aku duduk di bawahnya, sementara anjingku berguling di rumput.

Aku membuka ponsel, membaca pesan dari kakakku. Isinya adalah kombinasi makian, ancaman, dan di akhir ada satu pesan yang sedikit berbeda:

“Kami akan mengucapkan selamat tinggal pada Ibu tanpa kamu. Jadi kamu juga harus mengucapkan selamat tinggal dengan caramu sendiri.”

Aku menatap langit, yang mulai berubah warna keemasan. Aku memungut beberapa bunga kecil di tanah dan, entah kenapa, mulai merangkainya menjadi mahkota bunga. Jari-jariku masih ingat caranya. Ini sesuatu yang dulu ibuku ajarkan.

Aku meletakkan mahkota bunga itu di kepala anjingku. Dia tidak menolak.

“Oke, bro,” kataku, setengah pada diriku sendiri. “Besok pasti lebih baik.”

Dia mendengus pelan, lalu menjulurkan lidahnya, kelihatan puas.

Mungkin besok benar-benar lebih baik.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock