CintaRomansa

Senyum Pertama di SMA

Kabut pagi masih menyelimuti jalan ketika Arshila melangkah pertama kali ke gerbang SMA. Seragam putih-abu-abu terasa asing di tubuhnya, seasing keramaian siswa yang saling menyapa di koridor. MPLS menjadi minggu ujian baginya—bukan ujian akademik, melainkan pertarungan melawan kecanggungan yang selalu mengikat lidahnya.

Di antara riuh rendah ice breaking dan yel-yel kelompok, dua tangan hangat menyelamatkannya: Nala dengan kacamata bulatnya yang cerewet, dan Keyla yang selalu membawa bekal kue lapis buatan ibunya. Tapi takdir menentukan kelompok belajar mereka terpisah. Arshila menghela napas saat wali kelas mengumumkan formasi tempat duduk, jemarinya meremas buku tulis hingga berkerut.

Di meja sudut dekat jendela, bayangan tinggi menghalangi cahaya matahari. “Permisi, ini tempatku,” suara itu mengalun seperti melodi yang pernah ia dengar di iklan parfum. Arshila menengadah. Sinar matahari menyorot profil tajam wajahnya, menciptakan siluet sempurna di balik keriting rambut cokelat yang terpotong rapi. William Rindra—nama yang sejak hari pertama MPLS terus menjadi sumber gosip di toilet sekolah.

“Ha-hai…” katanya tersendat, buku di pangkuannya nyaris terjatuh. Selama sepuluh menit berikutnya, Arshila menjadi ahli dalam mempelajari pola kayu di meja sementara William dengan lancar memimpin diskusi kelompok. Bau citrus samar dari pergelangan tangannya membuat hidungnya geli.

“Arshila, menurutmu bagaimana?” William tiba-tiba menoleh. Dua detik. Tiga detik. Dunia berhenti berputar. “A-aku setuju,” gumamnya, padahal telinganya tak menangkap sepatah kata pun presentasi teman sekelompok.

Sepulang sekolah, ia menulis buku diary di balik selimut. “Apa ini yang disebut jatuh cinta?” tulisnya dengan huruf-huruf bergelombang. Halaman berikutnya dipenuhi coretan tanpa arti—bunga abstrak, awan berantakan, dan inisial WR yang disembunyikan dalam pola geometris.

Pukul 23.17, getar ponsel membuatnya tercekat. Notifikasi dari ID Instagram berkucing biru: willianrndr. “Halo, Arshila. Besok bisa pinjam catatan Bab 1 Matematika?” Pesan singkat itu membuatnya menjatuhkan ponsel ke hidung, jantung berdebar kencang layaknya drum band upacara bendera.

Sepanjang malam, buku catatan matematika yang biasanya bersih itu kini dipenuhi hiasan bintang-bintang kecil di pinggirannya. Di sudut kanan bawah, terselip satu kata berhuruf kapital yang hanya berani ia tulis dengan pensil tipis-tipis: “MUNGKIN”.


Karya: Alvika Dias Aprillia

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock