Ada bayi di bagian belakang glider, tapi itu bukan bayiku.
Tentu, dia memang mirip dengan bayiku. Tapi bayiku tidak pernah menangis saat kami melaju di sepanjang Sabuk Kuiper. Justru sebaliknya. Melintasi bagian terluar tata surya sering kali menjadi satu-satunya cara untuk membuatnya tertidur. Getaran halus dari perjalanan luar angkasa selalu berhasil menenangkan Jasmine, seperti naik ojol tapi versi nol gravitasi.
Tapi bayi ini meraung seperti pentolan band metal yang habis kena tilang.
Dan jika aku masih ragu, ada satu lagi tanda yang lebih jelas. Bayiku selalu kentut seperti mesin jet habis servis. Tidak ada sistem filtrasi manusia yang bisa sepenuhnya menghilangkan baunya. Hidung yang lebih lemah pasti bakal ngegas ke airlock buat cari udara segar, tapi aku sudah kebal setelah enam bulan perjalanan tidur-tiduran bareng Jasmine.
Oh Zod, bayi ini nggak kentut sama sekali sejak kami ninggalin Pluto cabang lain.
Autopilot glider langsung panik ngeliat lonjakan stresku dan mulai bermanuver zig-zag kayak pemain Mobile Legends yang ngindarin gank, padahal aku nggak lihat ada bajak laut antar dimensi.
Aku buru-buru banting setir ke mode manual, ngerem antimateri kayak supir bus di tanjakan, lalu nengok buat liat bayi yang bukan bayiku. Sepertinya dia juga sadar aku bukan bapaknya, soalnya tangisannya langsung naik satu level kayak efek suara sirine patroli luar angkasa.
Kami melayang di tengah kehampaan ruang angkasa, terapung di lautan hitam beludru, sementara bongkahan es melayang kayak potongan es serut yang dijual di angkringan angkasa. Tapi di luar angkasa, semua gerakan itu relatif. Realitas itu relatif. Segalanya hanya versi lain dari sesuatu yang udah ada, kayak Indomie yang tiap negara rasanya beda.
Aku mulai bernyanyi dan menggumam ke bayi itu. Kalau bayi ini juga namanya Jasmine, karena wajahnya mirip banget, berarti aku masih ada harapan.
Dia terikat di kursi bayi gravitasi nol yang sekilas mirip punyaku. Tapi pas aku liat lebih detail, ada label Omni 360. Ini kursi bayi premium! Aku nggak mampu beli beginian. Tunggu… ini glider siapa?
Nggak mungkin gliderku, ini ada jok kulit asli. Punyaku? Cuma sintetis belaka.
Gimana aku bisa nggak sadar dari tadi?
Dan yang lebih penting, di mana bayiku!?
Aku berusaha tetap tenang sambil menghibur bayi ini, meski otakku udah muter-muter kayak prosesor yang kepanasan.
Oke, pertanyaan utama: Aku bakal ngapain?
Lanjut aja pura-pura ini bayi yang benar?
Nggak mungkin! Istriku bakal tahu. Dia bakal cerita sama teman-temannya, karena dia nggak bisa simpan rahasia.
Dan yang paling bikin ngeri: ibu mertuaku nggak bakal pernah berhenti ngomel.
“KAMU NINGGALIN BAYIMU… DI DIMENSI LAIN!?”
Aku seharusnya nggak mampir ke Plutaco’s di Pluto cabang sebelah.
Aku memang nggak sering ke sana, tapi kalau tiap kali bawa Jasmine aku mampir ke Plutaco’s asli, aku pasti bakal buncit. istriku jelas bakal tahu dan pasti ngomel.
Itulah kenapa aku suka Plutaco’s versi Pluto lain. Rasanya sama, tapi aku nggak bakal gendut! Ada perbedaan kecil dalam komposisi atom mereka yang bikin makanan mereka nggak bisa diserap tubuhku. Makan banyak, tapi nggak nambah berat! Surga dunia.
Tapi, oh Zod, aku nyebrang dimensi cuma buat kalori kosong, dan sekarang bayiku ilang.
Tiba-tiba, Jasmine “palsu” ini diam, lalu mukanya ngernyit.
Aku cium sesuatu.
Dia nggak nangis. Dia kentut.
Aku terlalu capek, terlalu lama nyetir, terlalu banyak ngurus bayi. Semua ini kayaknya cuma ada di kepalaku.
Aku narik napas lega.
Oh, tunggu… Itu kentutku sendiri.
Jasmine “palsu” langsung nangis lagi. Aku coba nenangin dia, tapi percuma.
Oke. Pikir, pikir. Aku di glider yang salah, sama bayi yang salah.
Tapi aku kenal diriku sendiri.
Jadi, aku bakal ngapain?
Jawabannya jelas.
Aku harus ambil kembali bayiku!
Aku langsung ngegas, banting setir menuju Pluto cabang lain dengan jalur zig-zag ala pembalap ilegal.
Pas aku lewatin Pluto di tata surya ini, aku tahan diri buat nggak mampir. Pasti bayiku nggak ada di situ. Glider ini jauh lebih mewah dan cepat dari punyaku, jadi aku tahu bayiku pasti masih di Pluto cabang sebelah.
Aku mulai ngerti kesalahanku. Plutaco’s di dimensi lain tetap nerapin aturan tradisional dari Bumi: harus antre di luar kendaraan. Tapi kalau mereka beneran mau autentik, mereka harusnya juga maksa orang tua buat bawa bayinya keluar!
Dulu aku pernah baca kalau orang di Bumi panik berat kalau ada bayi ditinggal di mobil. Tapi buatku, glider ini punya kontrol suhu otomatis dan sistem keamanan biometrik. Tempat paling aman buat Jasmine!
Atau setidaknya… seharusnya.
Saat kami ngelewatin Haumea yang muternya lebih cepat dari spanduk kampanye pasang-copot, tangisan Jasmine “palsu” berubah jadi tawa. Aku sadar, bayi ini suka ngebut.
Saat keluar dari Sabuk Kuiper, dia ketawa sampai ketiduran. Oke, beda kebiasaan dikit.
Lalu, kami tembus batas dimensi. Alih-alih ke Awan Oort, kami nyampe di Sabuk Kuiper lain, di tata surya lain.
Beberapa orang percaya ada makhluk super yang nutup akses ke bintang lain sampai manusia cukup dewasa. Mereka dipanggil Shadowlords.
Aku bertanya-tanya apakah Shadowlords lagi nonton aku bikin kekacauan ini, sambil memundurkan kalender kebebasan manusia.
Kami nggak sampai Pluto cabang lain, karena ada glider lain yang melaju ke arah kami.
Glider itu melambat, dan aku juga.
Kami docking.
Saat airlock kebuka, aku lihat seorang pria usia 30-an dengan sedikit perut buncit.
Dia bukan aku, tapi tatapannya kayak mau nampol aku. Jujur, aku juga bakal nampol diriku sendiri.
“Plutaco’s cabang sebelah?” dia nanya.
“Yep…”
“Gimana dia?”
“Nangis terus sampai aku ngebut.”
“Yeah, dia emang gitu. Bayimu kentut non-stop, bro.”
“Yeah, dia emang gitu. Jadi…”
Tanpa ngomong lebih banyak, kami tukeran bayi dan masuk ke glider masing-masing.
Saat aku ngeluncur pergi, aku menatap Jasmine-ku yang manis, masih tidur nyenyak sambil melepas kentut kecilnya.
Di dimensi mana pun aku berada, yang penting, aku akhirnya kembali ke tempatku seharusnya.