DramaKehidupan

Aku Tak Pernah Membenci Pernikahan

Aku tak pernah membenci pernikahan.

Tapi setiap kali kata itu terdengar dari mulut siapa pun, apalagi dari ibu, ada sesuatu dalam dadaku yang mengencang, seperti tali yang ditarik terlalu kencang dan hampir putus.

Namaku Iwan, 35 tahun. Belum menikah. Tinggal di rumah kontrakan kecil tipe 36 di pinggiran kota. Dindingnya tipis, suara motor dari jalan depan terdengar jelas, dan jika hujan deras, atap seng kadang bocor. Aku tinggal bersama ibu dan adikku, Siska, yang baru lulus kuliah.

“Iwan, kamu tuh udah 35. Kapan mau punya anak? Ibu tuh pengen gendong cucu…” suara ibu terdengar dari dapur, seperti biasa, pagi-pagi saat aku sedang menyiapkan kopi.

Aku tak menjawab. Hanya menyeruput kopi dan menatap kosong ke dinding kusam yang catnya mulai terkelupas.

Aku tahu ibu tidak bermaksud menyakitiku. Tapi dia tak pernah tahu betapa rusaknya aku karena keputusan dia dan ayah dulu.

Ayah dulu seorang wiraswasta, punya bengkel motor cukup besar. Kami hidup cukup. Bahkan sempat punya mobil carry tua yang sering mogok tapi jadi kebanggaan keluarga. Lalu semuanya mulai runtuh ketika ibu mulai menemukan lipstik di kerah baju ayah. Parfum perempuan di jok mobil. Dan ayah, yang dulu selalu pulang jam tujuh malam, mulai sering hilang sampai dini hari.

Aku ingat bagaimana ibu menangis diam-diam di dapur sambil menanak nasi. Tapi yang paling membekas bukan itu, melainkan saat ibu mulai sering menerima telepon dari “teman lama”. Aku tahu itu bukan teman. Aku mendengarnya sendiri, suara pria asing menyapa ibu dengan panggilan mesra yang tak pantas.

“Ayahmu selingkuh duluan. Ibu cuma balas, supaya dia ngerasain juga,” kata ibu suatu malam saat aku duduk sendirian di ruang tamu, usia 18, baru lulus SMA. Dia mengatakannya dengan enteng, sambil mengecat kukunya.

Aku tak bisa berkata apa-apa malam itu.

Tak bisa saat ayah akhirnya bangkrut karena lebih sibuk dengan perempuan daripada bisnisnya. Tak bisa saat ibu mulai menemui pria lain dan pulang larut malam dengan bau parfum pria di bajunya. Tak bisa saat rumah kami dijual dan kami pindah ke kontrakan kecil ini.

Sejak itu, aku memutuskan jadi tulang punggung keluarga. Tak ada ruang untuk cinta, tak ada waktu untuk percaya pada perempuan. Aku takut mengulang luka yang dulu. Takut menjadi seperti almarhum ayah. Takut disakiti seperti ibu.

Aku tidak pernah menyalahkan mereka. Tapi aku juga tidak bisa menyembuhkan lukaku.

Setiap kali aku mencoba dekat dengan perempuan, aku takut. Takut semua akan berulang. Takut aku akan jadi seperti ayah. Atau perempuan itu akan berubah seperti ibu. Aku pernah mencoba pacaran, dua kali. Yang pertama pergi karena katanya aku terlalu dingin. Yang kedua pergi karena aku terlalu sibuk dan tak pernah punya waktu.

Mungkin mereka benar.

“Kamu tuh terlalu banyak mikir, Wan,” kata Siska suatu malam saat kami makan mie instan berdua, ibu sudah tidur.

“Mikir apaan?”

“Mikir soal masa lalu. Ya emang orang tua kita kacau. Tapi itu bukan alasan kamu jadi takut sama cewek seumur hidup.”

Aku diam. Sendokku berhenti di tengah jalan.

“Gini deh, aku bantuin kamu daftar aplikasi jodoh. Buat coba aja. Siapa tahu ada yang cocok,” katanya sambil mengeluarkan ponsel.

Aku ingin menolak. Tapi tatapan adikku malam itu… seperti seseorang yang benar-benar ingin melihatku bahagia. Dan mungkin, aku merasa lelah terus-menerus jadi dewasa sendiri.

★★★★

Namanya Dita. Umurnya 32. Guru TK. Dari semua yang aku temui di aplikasi itu, hanya dia yang bisa membuatku merasa tenang. Obrolan kami tentang luka masa lalu… terasa seperti bercermin. Dia juga tumbuh dari keluarga rusak. Kami tertawa getir membicarakan masa kecil yang sama-sama kelam.

Selama tiga minggu, aku mengenalnya lebih jauh. Kami bertemu di sebuah kafe kecil, dua kali. Dia baik, sabar, dan tidak memaksa. Bahkan saat aku mengaku takut menikah, dia tidak tersinggung. Dia hanya bilang, “Aku ngerti. Tapi kamu berhak bahagia, Wan.”

Aku ingin mempercayainya. Ingin percaya bahwa mungkin, kali ini berbeda.

Tapi malam itu, di kamar kontrakan sempit, aku termenung menatap langit-langit yang retak. Pikiranku kacau. Lalu tiba-tiba aku menangis. Pelan. Tanpa suara.

Bukan karena Dita menyakitiku.

Tapi karena aku sadar… aku belum sembuh.

★★★★

Beberapa hari setelah pertemuan ketiga, aku memutuskan bicara jujur dengan Dita.

“Aku gak yakin bisa lanjut. Bukan karena kamu. Tapi karena aku.”

Dita diam sejenak. Kemudian tersenyum, walau aku bisa lihat ada kesedihan di matanya.

“Aku ngerti. Terima kasih udah jujur.”

Itu terakhir kalinya kami bicara.

★★★★

Hari ini, pagi seperti biasa. Ibu masih ngobrol seputar cucu, meski kini nadanya lebih lelah dari sebelumnya. Siska sudah bekerja dan mulai sibuk dengan dunianya sendiri. Kontrakan ini masih sama, sempit, bocor kalau hujan, tapi… entah kenapa tetap terasa hangat.

Aku duduk sendirian di teras, memegang cangkir kopi. Langit mendung. Angin dingin menyelinap masuk lewat celah pintu.

Aku 35 tahun, masih sendiri. Dan untuk pertama kalinya… aku tak merasa perlu buru-buru mengubah itu.

Aku tahu hidupku tak sempurna. Tapi aku sudah berdamai. Dengan luka masa lalu. Dengan orang tuaku. Dengan keputusan-keputusan bodoh yang bukan salahku, tapi meninggalkan bekas di hatiku.

Mungkin suatu hari nanti, cinta akan datang lagi. Mungkin tidak.

Tapi aku tidak akan menyesal.

Karena meski tanpa cincin di jari, atau bayi yang menangis di kamar sebelah… aku tahu, aku sudah bertahan sejauh ini. Dan itu, bagiku, sudah cukup.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock