Human Protocol
Aku menghantam pintu dek observasi dengan kepalan tanganku. “Humphrey! Ada yang salah dengan Jansen! Buka pintunya!”
Tak ada jawaban. Pintu itu telah dikunci dari dalam. Sudah berapa lama dia mengurung diri? Tiga bulan? Tiga tahun? Waktu di kapal ruang angkasa ini terasa tidak masuk akal lagi.
Aku mendesah frustrasi dan melangkah ke ruang navigasi. Jansen ada di sana, duduk di kursi kapten dengan kaki ditekuk, matanya liar menatap panel-panel layar di sekelilingnya. Setiap layar memutar adegan sejarah terburuk manusia—perang nuklir, eksekusi massal, kehancuran kota. Klip-klip itu berulang tanpa henti, membentuk simfoni kehancuran yang menyesakkan.
“Jansen!” teriakku, mencoba menyaingi suara bising di ruangan. Jansen menoleh, bibirnya menyeringai lebar seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen. Ia menekan tombol, dan semua layar langsung padam.
“Kukira kau akan datang lebih cepat,” katanya santai.
“Apa yang kau lakukan?”
“Mengajari diri sendiri tentang keindahan kehancuran. Kau tahu, manusia pernah menciptakan mesin pembantai seperti gas saraf, bom cluster, dan—ah, ini favoritku—guillotine! Sungguh luar biasa!”
“Untuk apa kau menonton semua ini? Ini cuma masa lalu.”
“Oh, apa kau tidak pernah dengar pepatah?. Mereka yang tidak memahami sejarah akan kembali mengulanginya. Tapi aku punya ide yang lebih baik lagi… jika kau tahu sejarah, kau bisa mengulanginya dengan lebih efektif. Bukankah begitu?”
Aku terdiam. Ini bukan sekadar kegilaan biasa. “Kapan terakhir kali kau tidur? Aku akan mengambilkan sedatif.”
“Jangan!” Jansen berdiri cepat, hampir terjatuh karena tubuhnya yang kurus. “Kita menerima pesan dari Bumi.”
Aku terpaku. “Mengapa aku tidak diberi tahu?”
“Aku mengubah protokol utama. Semua pesan masuk kepadaku.”
Dadaku menegang. “Bagaimana kau bisa masuk ke mainframe?” Semua sistem sensitif di kapal ini memerlukan dua sidik jari dari tiga kru. Seharusnya itu mencegah keputusan sepihak.
Jansen tersenyum lebar. “Humphrey membantuku. Cukup bawakan dia makanan dan kosongkan limbah biologisnya, dan dia akan melakukan apa saja.”
Aku berusaha menahan amarah. “Tunjukkan pesannya.”
Jansen mengetik cepat, dan layar di sekeliling kami menampilkan video. Seorang pria tua, Direktur Program Koloni Antar-Bintang, duduk di bunker yang kosong.
“Rekan-rekan… ini adalah transmisi terakhir saya… Saya harus singkat… Aliansi telah runtuh… Nuklir telah dilepaskan… SEMUANYA… Ini yang kita takutkan… Saya hanya ingin mengingatkan bahwa…”
Layar tiba-tiba dipenuhi cahaya oranye sebelum mendadak gelap.
Aku terduduk, merasakan mual naik ke tenggorokanku. “Bumi… hancur?”
Jansen tertawa kecil. “Sensor kita menangkap ledakan tepat sebelum transmisi terputus. Tak ada yang tersisa.”
Aku menelan ludah, mencoba menjaga ketenangan. “Ini tak mengubah apapun. Misi kita tetap sama. Kita harus mencari dunia baru dan membangun kembali.”
Jansen menatapku dengan senyum miring. “Membangun kembali? Dengan apa? Sisa-sisa sejarah kelam manusia?”
Aku mengabaikannya dan pergi menuju Biovault. Aku tak bisa masuk sendirian, tapi aku tetap menempelkan dahiku pada jendela kecilnya. Di dalamnya, istriku tertidur dalam cryopod, wajahnya samar di balik lapisan es tipis. Aku sering datang ke sini, hanya untuk melihatnya.
Di ruangan itu, cryopod manusia dari Bumi berbaris di satu sisi, sedangkan di sisi lain, inkubator kloning yang berisi manusia hasil rekayasa genetik sedang berkembang. Rencana kolonisasi telah disusun matang: jika cryopod gagal, klon akan menjadi harapan terakhir.
Aku merasakan sesuatu mencubit hatiku. Aku tak akan membiarkan Jansen menghancurkan misi ini.
Aku diam-diam memasukkan sedatif ke dalam makanan Jansen. Begitu dia pingsan, aku menyeret tubuhnya ke Biovault. Dengan susah payah, aku menggunakan tangannya sebagai kunci sidik jari kedua untuk membuka pintu. Lalu, dengan hati-hati, aku memasukkannya ke cryopod kosong.
Aku menatap wajahnya yang mulai membeku. “Tidurlah. Ini yang terbaik untuk semua orang.”
Saat itulah alarm darurat berbunyi.
“PERINGATAN: KONTAMINAN BIOLOGIS TERDETEKSI.”
Aku terkejut dan menoleh. Cryopod di sebelah Jansen mulai bergetar. Dengan ketakutan, aku melihatnya—tubuh dalam pod itu kejang-kejang, es yang menyelimutinya retak.
Lalu, aku melihat sesuatu yang lebih buruk.
Jansen keluar dari pod-nya. Bagaimana bisa?! Aku tak punya waktu berpikir sebelum dia menendang salah satu pod, melepaskan tabung penopang kehidupan.
“JANSEN!” Aku berteriak, mencoba membuka pintu.
Dengan ketenangan yang mengerikan, Jansen beralih ke pod lain. “Ini akan menjadi sejarah kelahiran manusia baru, kawanku,” katanya sambil menghancurkan satu demi satu cryopod.
Aku berbalik dan berlari ke dek observasi. “Humphrey! Aku tahu kau di dalam! Buka pintunya!” Aku menghantam pintu hingga akhirnya terbuka paksa.
Humphrey duduk di lantai, kurus kering, tubuhnya bau dan rambutnya kusut. Dia sudah mati…
Aku tak memberi kesempatan. Aku menyeretnya ke Biovault, menggunakan sidik jarinya untuk masuk kembali.
Jansen berdiri di depan pod istriku. Dengan satu tendangan terakhir, ia menghancurkan tabung pendukungnya.
Aku hanya bisa menatap ketika es di sekeliling tubuhnya mulai retak. Tubuhnya berkedut, darahnya membeku, dan akhirnya… ia mati.
Aku berteriak dan menerjang Jansen. Kami bergulat di lantai, dan tanganku secara refleks mencengkeram lehernya.
“Kau… sama gilanya… denganku…” desisnya, tersenyum meski sekarat. “Kau bahkan tak ingat… namanya.”
Aku membeku.
Nama istriku… ah… siapa namanya?
Aku tak bisa mengingat.
Jansen tertawa kecil… lalu berhenti bernapas.
Aku bangkit, tangan masih bergetar. Aku meninggalkan tubuhnya dan berjalan ke ruang utama, tak tahu harus berbuat apa lagi.
Lalu aku melihat komputer navigasi.
Aku duduk, menatap layar kosong, dan mengetik pertanyaan sederhana.
“Berapa lama untuk menghapus semua arsip sejarah manusia?”
Jawaban muncul.
“117 hari.”
Tanganku melayang di atas tombol eksekusi.
Aku memejamkan mata.
Dan menekan ENTER.