Pagi itu di Kampung Sempal, suasana mendadak berubah seperti arena pertarungan gladiator. Bukan karena Pak RT ngamuk soal iuran ronda, bukan pula karena Ibu-ibu rebutan sabun promo di warung. Tapi karena ada duel yang tak biasa: seekor kucing belang tiga bernama Kumis berhadapan langsung dengan seekor ular hijau kecil yang oleh warga dikenal dengan nama Meliut.
Warga berkumpul di halaman rumah Bu Yati. Mulai dari anak-anak sampai kakek-kakek tukang gaple ikut menyaksikan. Pak Badrun bahkan sudah bawa kursi lipat dan keripik singkong. “Wah ini, tontonan lebih seru dari sinetron Indosiar,” katanya sambil duduk bersila.
Kumis berdiri dengan angkuhnya. Tubuhnya tidak terlalu besar, tapi bulunya mengkilap seperti habis disalonin. Tatapan matanya tajam, seperti detektif yang tahu siapa pelaku pembunuhan dari awal episode.
Di hadapannya, Meliut menggeliat pelan. Ular itu tampak gugup, tapi berusaha tetap tenang. “Gue cuma lewat,” pikirnya. Tapi Kumis tak menerima alasan begitu saja. Baginya, halaman Bu Yati adalah wilayah kekuasaannya. Dan siapa pun yang masuk tanpa izin, harus siap berhadapan dengannya.
Pertarungan dimulai dengan tatap-tatapan intens. Kumis tidak langsung menyerang. Dia hanya duduk, melingkarkan ekornya di depan tubuhnya seperti biksu zen yang baru selesai yoga. Tapi sorot matanya tak pernah lepas dari Meliut. Ia mengamati tiap gerakan kecil ular itu. Sementara Meliut, yang biasanya jago menyergap tikus sawah, kali ini salah taktik. Ia pikir kucing itu akan lari. Ternyata tidak. Bahkan Kumis malah menguap, tanda bosan menunggu.
“Tuh kucing malah nguap, gila… ini udah level legenda,” bisik Pak RT sambil memegangi toa masjid, siapa tahu dibutuhkan buat mengumumkan skor akhir.
Meliut, merasa harga dirinya sebagai reptil tercoreng, maju perlahan. Dia menggeliat ke depan, mencoba intimidasi klasik: angkat kepala, julurkan lidah, dan desis pelan. Sayangnya, karena suara mendesisnya pelan seperti suara angin bocor, efeknya malah membuat beberapa ibu-ibu tertawa.
Kumis hanya menyipitkan mata. Dengan gerakan lambat tapi penuh percaya diri, ia berdiri, lalu sedikit menunduk, pantat naik, dan ekor bergoyang pelan-pelan. Ini bukan tarian. Ini adalah posisi siap tempur versi kucing. Dan semua warga tahu, kalau ekor sudah bergoyang begitu, itu artinya… serangan akan datang.
Benar saja, dalam sekejap, Kumis melompat ke arah Meliut dan mencakar ke udara. Meliut mencoba menghindar, tapi dia bukan akrobat. Gerakannya yang terbatas membuatnya nyaris kena cakar pertama. Kumis tidak berhenti. Cakar kedua dan ketiga dilayangkan dalam tempo cepat, membuat Meliut terloncat ke belakang dan menabrak ember kosong. Suaranya nyaring. Beberapa warga refleks tepuk tangan.
“Heh, jangan tepuk tangan! Ini bukan konser dangdut!” bentak Bu Yati, tapi diam-diam dia juga merekam kejadian itu pakai ponsel.
Meliut mulai panik. “Ya Allah, salah masuk halaman!” jerit batinnya. Tapi dia tidak bisa menyerah begitu saja. Dia masih punya satu senjata: serangan lurus cepat khas ular. Ia meluncur ke depan dengan gerakan cepat, lidah menjulur seperti pegas.
Namun Kumis seolah bisa membaca masa depan. Ia menghindar ke kanan, lalu mendarat di atas sandal jepit Bu Yati. Dari posisi itu, ia melompat lagi dan kali ini… kena! Cakarnya mendarat tepat di punggung Meliut. Tidak sampai berdarah, tapi cukup membuat ular itu meringkuk lemas seperti kabel charger habis dicabut paksa.
Semua warga diam. Sunyi. Bahkan angin berhenti berhembus. Kumis berdiri di atas sandal, menatap tubuh lemas Meliut. Ia bisa saja lanjut menyerang. Tapi entah kenapa, dia berhenti. Ia menjilat cakarnya sendiri, seolah berkata, “Sudah cukup. Aku bukan pembunuh. Aku hanya penjaga halaman.”
Dan seperti pahlawan dalam film aksi, Kumis berbalik, melangkah pelan, dan pergi menuju pot bunga di sudut halaman. Ia melompat ke atasnya dan duduk di sana, menikmati sinar matahari seperti tidak terjadi apa-apa.
Sementara itu, Meliut perlahan menggelinding pergi. Tubuhnya masih sakit, tapi hatinya lebih sakit. Di depan puluhan saksi warga kampung, dia baru saja dipecundangi oleh seekor kucing domestik. Ia bersumpah dalam hati: setelah ini, ia pensiun dari dunia perularan. Ia akan pindah ke sawah, hidup damai dan bertani singkong.
Hari itu, video pertarungan Kumis dan Meliut langsung viral. Anak Pak RT mengunggahnya ke TikTok dengan judul: “Kucing Kampung vs Ular Sawah: Duel Abad Ini”. Dalam dua jam, video itu tembus sejuta views. Kumis langsung jadi selebgram. Akun Instagram-nya yang sebelumnya cuma berisi foto-foto tidur di bawah motor, sekarang penuh tawaran endorse makanan kucing dan pasir wangi. Sementara Meliut… katanya sekarang buka pelatihan motivasi berjudul “Bangkit Setelah Dikalahkan Kucing.”
Warga kampung Sempal tak akan pernah melupakan pagi itu. Pagi di mana seekor kucing belang bernama Kumis membuktikan bahwa bukan ukuran, bukan bisa, tapi kecepatan, kepercayaan diri, dan sedikit dramatisasi yang membuat seekor hewan jadi legenda.
Dan sejak hari itu, tak ada lagi hewan berani masuk halaman Bu Yati tanpa izin. Bahkan tikus-tikus pun sekarang menunduk kalau lewat pot bunga, tempat di mana sang gladiator bersantai sambil menunggu musuh berikutnya.