Dunia Baru
Henry sedang mengemas perlengkapannya. Saat memilih dan memasukkan barang ke dalam tas, dia mulai teringat perjalanan-perjalanan sebelumnya. Henry memang tipe orang yang lebih suka sendirian. Baginya, bepergian sendiri jauh lebih seru daripada harus menyesuaikan ritme dengan orang lain yang justru bisa menghambat.
Pakaian sudah terlipat rapi dalam tas bersama dengan beberapa kantong kecil berisi obat-obatan darurat dan uang cadangan. Dia menutup tasnya dan mengangkatnya. “Ringan juga,” pikirnya, meskipun sudah dipenuhi banyak barang. Henry berjalan ke pintu, meletakkan tasnya di lantai, lalu berkata pada dirinya sendiri, “Satu beres, tinggal dua lagi!”
Henry menuju dapur. Tas perjalanan lainnya masih tergeletak di atas meja, persis seperti yang dia tinggalkan semalam. Dia berjalan ke rak penyimpanan tempat semua bekal perjalanan tersimpan, makanan kering yang dikemas rapat. Sambil mengambil satu per satu paket makanan, dia membayangkan betapa serunya berburu makanan tambahan di perjalanan. Henry tidak suka makanan yang sudah direncanakan seperti yang biasa dilakukan ibunya. Dia lebih suka kejutan. Tangannya meraih beberapa bumbu dapur dan memasukkannya ke dalam kantong plastik hitam. “Yang terakhir dari stok,” gumamnya sambil tersenyum. Setelah memasukkan bumbu terakhir, dia menutup kantong dan menaruhnya di meja. Kemudian, dia melanjutkan mengemas perlengkapan makan lainnya, sendok, pisau dapur, saringan lipat, dan pisau lipat yang diberikan ayahnya ketika dia masuk tentara. Setelah merasa cukup, Henry menutup tas itu dan mengangkatnya. Lagi-lagi terasa ringan. “Sip, gue emang jago!” katanya sambil tertawa kecil, lalu meletakkannya di samping tas pertama.
Dia berjalan ke sebuah peti besi yang terkunci rapat, mengeluarkan kartu kecil dari kalungnya, dan memasukkannya ke dalam celah di peti tersebut. Terdengar bunyi klik pelan. Henry menyelipkan kembali kartu itu ke dalam kalungnya dan memasukkannya ke balik kausnya. Peti itu cukup besar, jadi dia berlutut dan mengambil tas yang lebih besar, lalu membukanya di lantai. Dia mengambil jaring ikan, meskipun tidak yakin akan membutuhkannya, dan meletakkannya di samping. Kemudian, dia mengambil empat lilin, batu api, serta perlengkapan berkemah lipat. Selanjutnya, dia mengambil tempat minumnya, membukanya, lalu mencium aromanya. “Waduh, bau apaan nih?” keluhnya. Dia membawa tempat minum itu ke dapur, mengambil tablet pembersih, mengisinya dengan air, lalu memasukkan tablet tersebut dan membiarkannya meresap.
Henry kembali ke peti dan menarik kotak kayu kecil yang dia buat sendiri waktu kecil. Isinya ada buku catatan, tablet kecil, panel surya, pulpen, dan pengasah pisau yang dia dapat dari perjalanan pertamanya dengan ayahnya. Dia juga mengambil dua lembar terpal, tenda beserta tiangnya yang diwarisi dari kakeknya, pasak, serta beberapa gulungan tali. Dia berpikir sejenak, memastikan semua yang dibawanya berguna, lalu memasukkan semua barang itu ke dalam tasnya.
Setelah itu, dia kembali ke dapur, membuang isi tempat minumnya, mengendusnya sekali lagi, lalu mengisi ulang dengan air bersih. Setelah memastikan tutupnya rapat, dia menyelipkannya di bawah lengannya dan kembali ke tas yang sudah disiapkannya. Tempat minum itu masuk ke dalam tas, lalu dia menutupnya. Dia mengambil tablet kecilnya di satu tangan dan tas besar di tangan lainnya. Di luar, kendaraannya sudah menunggu.
Henry berjalan menuju kontainer yang telah dimodifikasi menjadi garasi pribadinya. Di dalamnya ada jet mini yang sudah dia bersihkan dan periksa semalam. Dia mengecek semua perlengkapan darurat, lalu mengambil pistolnya, senjata yang dia beli secara ilegal dengan hampir separuh tabungannya. Henry menatapnya dengan perasaan campur aduk, matanya mulai berkaca-kaca, mengingat perjalanan bersama kakeknya sebelum pemerintah mengeluarkan larangan kepemilikan senjata. Aturan itu yang merenggut nyawa kakeknya. Dia memeriksa kotak peluru, memastikan semuanya terisi penuh, lalu mengaktifkan pengaman seperti yang diajarkan kakeknya. Senjata itu dia simpan di dalam konsol, sementara tablet kecilnya diletakkan di samping. Tempat minum dia taruh di lantai. Dia menutup hatch jet dengan rapat dan kembali masuk ke rumah untuk mengambil tiga tas lainnya.
Satu per satu, dia membawa tasnya ke portal kecil di sisi jetnya. Dia menekan tombol, memasukkan tas pertama, menyesuaikan pengaturan, lalu mengulanginya untuk tas lainnya. Setelah semua tas tersimpan dengan aman, dia menekan sakelar kecil untuk mengunci portal. Henry berjalan ke kursi pilot, duduk, dan menarik napas panjang sebelum memasang sabuk pengaman. Dia mengambil chip kecil dari dasbor, memasukkannya ke dalam slot pemutar musik, dan dalam sekejap, musik bajakan yang dia kumpulkan bertahun-tahun lalu mulai terdengar. Dia tersenyum puas.
Henry mengambil tablet kecilnya, mengetikkan koordinat, lalu memasukkannya ke dalam sistem navigasi jet. Sejak lama dia ingin pergi ke suatu tempat dengan air yang benar-benar bersih. Setelah menghabiskan banyak uang untuk membeli informasi dari orang-orang mencurigakan dan melakukan riset mendalam, dia akhirnya menemukan koordinat yang diharapkannya. Dengan penuh harap, dia menyilangkan jari dan menekan tombol untuk menyalakan mesin.
Dalam sekejap, jet mini itu melesat. Musik menggelegar, angin berdesir di sekitar jet, dan Henry tertawa puas.
“Petualangan dimulai!”