Di Mana Niki?
Aku membelok dari jalan aspal, ban mobilku menggerus kerikil dengan bunyi gemeretak yang familiar. Musim panas kali ini kering, membuat jalan menuju rumah kakek-nenekku berdebu seperti bedak. Sejenak, aku terpikir apakah Pak Tua Patterson masih akan menelepon orang tuaku, mengeluh bahwa aku menyetir terlalu cepat. Tapi dia sudah mati sepuluh tahun yang lalu.
Dua minggu lalu, nenek meninggal. Aku kembali ke rumah keluarga, berusaha membantu sebisa mungkin. Bukan dalam urusan administrasi—aku terkenal buruk dalam hal itu—tapi setidaknya badanku masih kuat. Kupikir aku bisa berguna untuk mengangkat sofa atau lemari es.
Namun, aku terlambat dua hari. Semua barang besar telah dibawa oleh truk pengangkut. Rumah ini akan dilelang setelah gagal terjual secara pribadi—mungkin karena terlalu banyak ‘perbaikan’ dari kakek. Aku pun mengambil kesempatan untuk melihat-lihat rumah masa kecilku untuk terakhir kali. Tapi tanpa perabotan, debu yang tertimbun selama bertahun-tahun beterbangan di udara, membuatku bersin tanpa henti hingga aku memilih keluar.
Aku berdiri di halaman belakang, menatap kebun yang dulu tertata rapi kini berubah liar. Di antara semak-semak yang menjalar, samar-samar aku melihat nisan kayu tua. Nama ‘Esther’ terukir di sana—anjing kesayangan kakek.
Dulu, kami punya Siberian Husky bernama Niki. Anjing besar berbulu tebal dengan mata tajam, seperti serigala. Teman-temanku selalu ngeri sekaligus terpesona saat melihatnya. Karena terlalu aktif, orang tuaku membuatkan kandang luas di halaman. Namun, Niki sering kabur, dan setiap kali itu terjadi, dia selalu berpetualang bersama Esther. Begitulah kata kakek—mereka sedang bertualang.
Saat aku berjalan menyusuri jalanan berdebu, mataku menangkap secarik bulu domba tersangkut di kawat berduri pagar tua kakek. Sudah puluhan tahun tidak ada domba di sana. Tidak sejak petualangan terakhir Niki dan Esther.
Aku teringat hari ketika desa kecil kami geger. Kabar tersebar bahwa Niki, si “serigala”, telah kabur dan ada beberapa domba mati.
Domba-domba itu bukan milik kami. Entah siapa yang menitipkannya di lahan kakek, mungkin dengan sedikit uang atau sekadar kesepakatan saja.
Aku tidak pernah menyukai mereka. Bau, kotor, dan bodoh. Tidak seperti Niki. Dia kuat, cerdas, dan pemberani. Aku selalu merasa aman bersamanya.
Saat aku bertanya pada orang tuaku, mereka bilang para domba ketakutan dan tidak sadar bahwa Niki dan Esther hanya ingin bermain. Domba-domba itu mati karena shock.
“Mati karena shock?” tanyaku.
Ayah mengangguk, “Semacam serangan jantung.”
Ibu segera merangkulku, menenangkanku. Tapi aku bisa merasakan ketegangan di tubuhnya. Aku tidak bertanya lebih jauh, tapi suara tembakan yang terdengar dari luar rumah membuatku merinding.
Aku tidak melihat apa yang dilakukan ayah dengan sekopnya. Namun, sebelum rumput tumbuh kembali, ada dua belas gundukan tanah gelap di padang belakang kakek. Kuburan domba. Tidak rapi seperti pemakaman manusia, melainkan tersebar acak, seolah dilempar sembarangan.
Saat aku berdiri di depan pagar tua itu, tidak ada lagi tanda-tanda gundukan tanah. Tapi aku bertanya-tanya, apakah pria yang kehilangan dombanya saat itu pernah mendapatkan kompensasi? Berapa harga seekor domba? Ketika aku mencarinya di internet, aku terkejut. 10 juta untuk setiap domba lusuh itu? Orang itu pasti marah besar.
Itulah petualangan terakhir Niki dan Esther. Beberapa hari kemudian, seorang pria datang dan membawa Niki pergi. Orang tuaku mengatakan dia akan tinggal di sebuah peternakan. Lebih bebas. Lebih bahagia. Aku ingin percaya. Tapi beberapa malam setelahnya, mimpi buruk tentang beruang hitam kembali. Dan kali ini, Niki tidak ada untuk melindungiku.
Aku kembali ke rumah, menemukan ibu sedang memandangi kebun dengan secangkir teh hangat di tangannya. “Mau teh?” tanyanya tanpa menoleh.
“Boleh, Bu. Aku ambil sendiri.”
Kami duduk di batang pohon tumbang yang dulu dipahat kakek menjadi bangku. “Ibu masih ingat saat Niki dan Esther bertualang ke kandang domba?”
Ibu tertawa kecil. “Tentu. Ribut sekali saat itu.”
“Apa yang sebenarnya terjadi? Pemilik domba marah?”
“Oh, tentu saja. Dia ingin 10 juta untuk setiap dombanya. Padahal domba-domba itu jelek dan tua. Ayah dan kakek akhirnya mencapai kesepakatan, entah bagaimana caranya.”
Aku menatap kuburan Esther di kejauhan. “Bu, sebenarnya Niki dibawa ke mana?”
Ibu menoleh dengan ekspresi aneh. Garis-garis di dahinya tampak lebih dalam. “Ke peternakan. Kau tahu itu.”
Aku menelan ludah. “Tapi itu kan alasan klasik. Orang tua selalu bilang begitu untuk menutupi sesuatu. Aku sudah dua puluh tiga tahun, Bu. Aku bisa menerima kebenaran.”
Ibu tersenyum kecil, menatap mataku lama, lalu berkata, “Sayang, aku tidak bohong. Niki pergi ke peternakan. Kami tidak membunuhnya.”
Aku ingin mempercayainya. “Kau tidak akan berbohong padaku, kan?”
“Tentu tidak.”
Tapi saat aku mengikuti langkahnya kembali ke rumah, aku mendengar sesuatu di kejauhan. Suara tembakan samar di kepalaku, bayangan gundukan tanah yang telah lama hilang, dan bisikan aneh yang tertinggal di angin.
Saat itu, aku sadar. Tidak peduli berapa lama waktu berlalu, beberapa kebenaran terkubur lebih dalam daripada sekadar tanah.