Pangeran Arab di Ujung Chat
Namaku Reza. Usia dua puluh dua tahun. Seharusnya hidupku sekarang penuh fokus menyusun skripsi, tapi kenyataan berkata lain: aku lebih sering sibuk menyelamatkan ibuku dari “Pangeran Arab”-nya.
Ya, ibuku, Bu Siti adalah seorang wanita berusia lima puluh tujuh tahun yang baru aktif menggunakan ponsel canggih dua tahun lalu. Awalnya hanya untuk grup WhatsApp arisan dan kirim stiker lucu. Tapi entah sejak kapan, dia jadi keranjingan chatting dengan akun bernama “Prince Ameer of Dubai 💎🐪”.
“Reza,” katanya suatu pagi sambil tersenyum lebar, “Tadi malam Pangeran Ameer kirim foto dia naik unta. Romantis banget ya?”
Aku melirik layar ponselnya. Pria bertubuh kekar dengan sorban putih dan senyum menggoda, berpose di depan unta. Jika kamu ketik ‘handsome Arab man with camel’ di Google, pasti muncul gambar dia di urutan atas.
“Bu…” Aku menarik napas dalam-dalam, “Itu foto Google. Lagi pula, mana ada pangeran Arab nyari jodoh di Facebook dan jatuh cinta sama ibu-ibu pengajian di Depok?”
Wajah ibu mengeras. “Reza! Kamu jangan su’udzon. Hati orang siapa yang tahu? Ameer itu tulus. Dia mau menikahiku dan ajak aku tinggal di Dubai. Dia cuma perlu biaya dokumen sebesar delapan juta rupiah.”
Aku terbatuk. “Apa?! Delapan juta? Bu, itu jelas-jelas penipuan!”
“Reza!” seru Ibu sambil bangkit dari sofa. “Kamu gak tahu rasanya dicintai lagi setelah ayahmu meninggal. Ameer itu perhatian, selalu bilang aku cantik. Kamu tahu nggak? Dia kirim video tadi malam. Mau lihat?”
Aku tak sempat menjawab. Ibu sudah memutar video pria arab yang sedang duduk di sofa dan melihat dengan senyum tanpa bicara sepatah katapun. Terlihat seperti video hasil nyomot di google yang dikirim ulang.
Aku memijit pelipis. Ini sudah kesekian kalinya. Dua bulan lalu, ibu sempat ingin transfer tiga juta ke “agen visa Dubai”. Aku berhasil ke bank dan blokir sebelum uangnya dikirim. Tapi sekarang, penipu itu makin licik. Aku bahkan curiga dia punya banyak rekening.
Aku akhirnya menelusuri akun si Ameer. Foto-foto ganteng, semua terlalu sempurna. Akunku yang palsu, “SultanAli_Real”, aku buat untuk menyusup ke dunia para pangeran fiktif. Dan benar saja, si “Ameer” juga aktif di grup penipu berkedok romantis.
Tapi setiap kali kubuka bukti-bukti itu pada Ibu, dia cuma menjawab: “Reza, Ibu hanya ingin bahagia”
Aku nyaris gila.
Suatu malam, aku duduk di meja makan, laptop di depan, ibu di sebelahku sedang senyum-senyum sendiri dengan ponselnya.
“Bu,” kataku pelan, “Aku cuma gak mau Ibu sakit hati. Aku tahu Ibu kesepian. Tapi cinta sejati bukan dari chat abal-abal. Aku di sini, Bu. Anak Ibu. Aku bisa temani Ibu ke mana pun. Kita bisa jalan-jalan, nonton drama, masak bareng…”
Ibu terdiam sejenak. Hatiku hampir lega. Tapi lalu dia berkata, “Tapi kamu bukan Ameer. Kamu gak bilang Ibu cantik tiap pagi.”
Aku nyaris membanting kepalaku ke meja.
★★★★
Hari berikutnya aku nekat.
Aku pinjam kamera teman, lalu memintanya menyamar sebagai wartawan TV lokal. Dia datang ke rumah dengan membawa mic palsu dan merekam video edukasi soal penipuan digital. Aku minta Ibu jadi “narasumber” sambil diam-diam memancingnya bicara tentang Ameer.
“Bu Siti, boleh ceritakan bagaimana Ibu mengenal pria asing itu?” tanya temanku berpura-pura formal.
“Oh, dia sangat sopan. Waktu pertama chat, dia langsung tanya: ‘Apakah engkau wanita yang kesepian?’” jawab Ibu dengan senyum malu-malu.
“Lalu, apakah dia pernah meminta uang?”
Ibu tampak ragu. “Hanya sedikit… untuk tiket pesawat. Dia mau datang ke Indonesia minggu depan.”
“Apakah Ibu pernah video call dengannya?”
“Belum… Katanya kamera dia rusak. Tapi suaranya sangat menenangkan.”
Aku menahan napas. Lalu aku mengedit video itu dan kutambahkan teks besar: “Cinta Palsu di Dunia Digital: Waspadai Penipuan Cinta Lintas Negara!”
Kuposting diam-diam ke YouTube dengan setting privat. Lalu aku tunjukkan ke Ibu.
Dia menatap layar cukup lama. Bibirnya mulai gemetar. “Ini… suara Ibu ya? Tapi kok malu banget…”
“Ibu, coba lihat ini dengan jujur. Ini semua sudah sering terjadi. Bahkan ada nenek-nenek lain yang kehilangan ratusan juta. Ibu mau kayak gitu?”
Air mata jatuh di pipi Ibu. “Tapi… dia bikin Ibu bahagia…”
Aku menghela napas. Perlahan, aku rangkul bahunya.
“Bu, aku juga pengen Ibu bahagia. Tapi bukan dengan mimpi yang dibangun dari kebohongan. Boleh ya kita coba mulai lagi? Bikin akun Instagram bareng, kita masak resep baru tiap minggu. Ibu pasti dapat banyak like, mungkin juga followers beneran.”
Dia menatapku dengan mata berkaca-kaca. Lalu mengangguk pelan.
★★★★
Dua minggu kemudian, akun @SitiDapurDubai mulai naik daun. Ternyata ibu punya bakat bikin konten masak-masak lucu. Dan alih-alih menerima pujian dari pangeran palsu, dia sekarang sering dibanjiri komentar: “Ibu lucu banget!”, “Resepnya enak, Bu, ajarin dong!”
Dan yang paling membuatku lega? HP-nya sudah diblokir dari semua akun yang mencurigakan. Termasuk si Ameer.
Walau kadang, saat malam tiba, kulihat ibu masih menatap ponselnya dengan ragu-ragu.
“Mikirin Ameer lagi ya, Bu?” tanyaku sambil membawa teh hangat.
Dia tersenyum. “Iya, sedikit. Tapi sekarang Ibu lebih suka lihat komentar netizen tentang masakan ibu.”
Aku duduk di sebelahnya. “Karena ibu memang pandai masak.”
Ibu terkekeh. “Nah, gitu dong, kayak Ameer.”
Aku menghela napas. Ya sudahlah. Setidaknya ini pujian dari anak sendiri.