Laut selalu menyimpan cerita, dan bagi Adrian, ombak yang tenang di sore hari adalah pengingat akan seseorang yang pernah mengisi ruang hatinya. Setiap kali ia menatap cakrawala, warna biru laut mengingatkannya pada sepasang mata yang dulu begitu akrab.
Dua tahun lalu, di sebuah pantai tersembunyi yang hanya diketahui segelintir orang, Adrian pertama kali bertemu dengan Kirana. Gadis itu duduk di atas batu karang, rambut panjangnya ditiup angin laut, sementara tatapannya kosong menatap ke arah matahari terbenam. Ada kesedihan yang tersembunyi di wajahnya, tetapi juga keindahan yang tidak bisa diabaikan.
“Sendiri?” tanya Adrian sambil berdiri beberapa meter darinya.
Kirana menoleh dan tersenyum kecil. “Kadang-kadang, sendiri lebih baik.”
Sejak hari itu, mereka mulai sering bertemu di pantai yang sama. Awalnya hanya kebetulan, tapi seiring waktu, keduanya merasa tempat itu menjadi ruang rahasia mereka. Adrian belajar bahwa Kirana adalah seorang pelukis yang sering mencari inspirasi dari alam, dan pantai itu adalah kanvas yang tak pernah habis memberinya ide. Sebaliknya, Kirana menemukan bahwa Adrian adalah seseorang yang gemar menulis puisi, meski ia jarang membiarkan orang lain membacanya.
Setiap sore, Kirana duduk di atas batu yang sama, menggambar lautan yang bergelombang, sementara Adrian mencatat bait-bait yang terinspirasi dari ombak dan angin. Mereka berbicara tentang mimpi-mimpi yang belum tercapai, tentang ketakutan yang menghantui, dan tentang warna biru yang, bagi Kirana, selalu melambangkan sesuatu yang tak pernah bisa ia genggam.
“Biru itu seperti kenangan,” kata Kirana suatu sore. “Indah, tapi tak bisa disentuh.”
Adrian ingin membantahnya, ingin mengatakan bahwa warna itu juga bisa menjadi simbol kebebasan, tetapi di matanya, Kirana adalah seseorang yang tak bisa dikurung dalam definisi yang sederhana. Gadis itu terlalu luas, seperti laut yang tak memiliki ujung.
Namun, kebersamaan mereka tak bertahan selamanya. Kirana pergi tanpa perpisahan, tanpa pesan, hanya meninggalkan sketsa terakhirnya di atas pasir. Sebuah gambar ombak yang menggulung, dengan siluet seorang pria berdiri di kejauhan. Adrian tahu itu adalah dirinya.
Sejak saat itu, biru bukan lagi warna yang sama baginya.
Bertahun-tahun kemudian, Adrian kembali ke pantai itu. Kali ini, dengan buku puisinya yang akhirnya diterbitkan. Ia berjalan ke tempat di mana Kirana biasa duduk, membuka halaman terakhir buku tersebut, dan membaca satu puisi yang tak pernah ia tunjukkan kepada siapa pun:
Biru adalah jejak yang tak hilang, Seperti ombak yang mencium pantai, Seperti langit yang menatap laut, Seperti kamu yang selalu ada, Meski tak pernah kembali.
Adrian menutup bukunya, menatap lautan yang tetap sama seperti dulu. Angin laut berbisik lembut, membawa kenangan yang tidak akan pernah benar-benar pergi.
Saat itu juga, sebuah suara lembut memecah lamunannya. “Puisi yang indah. Aku selalu tahu kamu akan menjadi penulis hebat.”
Adrian berbalik dan melihat Kirana berdiri di sana, tersenyum seperti dulu. Rambutnya masih diterpa angin laut, tetapi kali ini, tidak ada kesedihan di matanya.
“Kirana…” bisiknya tak percaya.
“Aku kembali,” jawabnya. “Untuk tinggal.”
Mata mereka bertemu, dan di antara suara deburan ombak, Adrian tahu—warna biru kini memiliki makna yang jauh lebih indah. Mereka berjalan berdampingan di sepanjang pantai, berbagi cerita yang tertunda, dengan langit senja sebagai saksi bahwa cinta mereka tak pernah benar-benar pergi.