Tiket ke Surga yang Tak Jadi Terbang
Matahari pagi menyorot jendela rumah mewah milik Haji Marsudi. Di halaman, mobil Alphard hitam mengkilap baru saja dicuci sopirnya. Di ruang tamu, Marsudi duduk sambil memegang secangkir kopi Arabika. Wajahnya tidak setenang biasanya.
“Tak ada haji furoda tahun ini, Pak,” ujar Hasan, asistennya, dengan nada cemas. “Barusan saya lihat di berita, visa mujamalah dari Arab Saudi ditutup total. Semua jemaah furoda gagal berangkat.”
Cangkir kopi di tangan Marsudi bergetar. “Apa kau bilang?”
“Semua agen yang menawarkan furoda tahun ini, kemungkinan besar penipuan. Pemerintah Arab Saudi ingin pelaksanaan haji lebih tertib, katanya.”
Marsudi terdiam. Tangannya mengepal.
Ia bukan orang sembarangan. Pengusaha properti sukses. Setiap tahun dia menyumbang untuk masjid, menyantuni anak yatim, dan jadi donatur tetap di pesantren kampung halamannya. Tapi ada satu hal yang belum ia capai: menunaikan ibadah haji.
Ia pernah masuk antrean haji reguler delapan tahun lalu. Tapi saat tahu antreannya bisa 20 tahun, ia mundur. “Untuk apa menunggu selama itu, kalau Allah sudah kasih rezeki lebih?” katanya saat itu.
Maka dua tahun terakhir, ia mulai mencari jalur furoda. Tidak perlu antre. Tinggal bayar, berangkat. Tahun lalu ia nyaris berangkat, namun terkendala kesehatan. Tahun ini, ia sudah menyiapkan segalanya: baju ihram dari kain paling halus, koper eksklusif, bahkan kaligrafi nama dirinya sudah dipesan di batu nisan Ma’la, sebagai simbol doa agar bisa dimakamkan di tanah suci bila wafat di sana.
Dan tentu saja, ia sudah mentransfer dana Rp975 juta ke biro perjalanan Haji Al-Mubarok yang katanya paling terpercaya.
Di rumah kontrakan sempit di pinggiran Bekasi, seorang ibu tua tengah duduk di sajadah robek. Bibirnya bergetar melantunkan doa. Di hadapannya, sebuah map berisi dokumen dan bukti transfer tertulis angka Rp380 juta, seluruh tabungan hidupnya dan hasil jual tanah warisan satu-satunya.
Bu Marni, janda 68 tahun, merasa dunia runtuh ketika mendengar berita itu dari radio. “Tak ada haji furoda tahun ini,” ucap suara penyiar.
Ia terisak. Bukan karena uang itu hangus. Tapi karena ia merasa gagal mewujudkan satu-satunya impian hidupnya: pergi ke rumah Allah, berdiri di Arafah, memandang Ka’bah, menangis dalam sujud di Multazam.
Ia tahu ia tak kuat menunggu antrean reguler. Umurnya sudah renta. Ia tak pandai teknologi, tak punya koneksi, hanya berharap pada satu agen haji yang katanya bisa bantu “langsung berangkat” asal ada biaya.
Sementara itu, di kantor Kementerian Agama, seorang pejabat sedang menerima keluhan para calon jemaah furoda yang gagal. Ada yang berteriak-teriak. Ada yang menangis. Ada pula yang duduk lemas, seakan tak percaya bahwa mimpi mahal mereka musnah begitu saja.
“Pak, saya sudah lunas bayar Rp800 juta!” teriak seorang pria muda dengan sorban putih. “Kami dijanjikan berangkat tahun ini!”
“Maaf, Bapak. Pemerintah Saudi sendiri yang tidak mengeluarkan visa furoda tahun ini. Kami juga tidak bisa memaksakan. Tapi kami imbau, sejak dulu sebenarnya, agar masyarakat berhati-hati memilih jalur haji non-kuota.”
“Tapi kami tidak curang, Pak! Kami cuma ingin cepat. Umur manusia tak ada yang tahu!”
Berita itu menghebohkan media. Tagar #HajiFurodaGagal melambung di media sosial. Di TV, tayangan testimoni para jemaah yang merasa ditipu mulai bermunculan. Ada yang bilang uangnya dibawa kabur. Ada yang menyalahkan pemerintah. Ada pula yang menyalahkan dirinya sendiri.
Tapi tidak dengan Marsudi.
Ia diam. Tidak mengamuk, tidak menuntut. Ia hanya termenung di ruang shalat rumahnya. Istrinya, Bu Wati, datang membawa sejadah.
“Kau tak salat, Bang?”
Marsudi menggeleng. Matanya merah.
“Kenapa tak marah? Uang hampir satu miliar hilang, Bang…”
“Bukan uangnya, Wat. Tapi mungkin ini tamparan.”
“Tamparan dari siapa?”
“Dari Allah.”
Bu Wati menunduk. Ia tahu suaminya memang terlalu keras mengejar ‘tiket surga’. Terlalu sibuk menyiapkan koper mahal, tapi lupa menyiapkan hati. Terlalu sibuk mencari jalur instan, tapi lupa bahwa ibadah haji bukan soal fasilitas, tapi soal undangan Tuhan.
Marsudi menarik napas dalam.
“Mungkin… aku terlalu sombong. Kupikir dengan uang, aku bisa melangkahi antrean. Kupikir Allah akan langsung menerima aku hanya karena aku mampu bayar mahal.”
Ia kemudian berdiri. “Aku akan kembali daftar reguler. Meski harus menunggu dua puluh tahun lagi.”
“Kau yakin masih hidup?”
“Itu urusan Allah. Tugasku hanya menunggu dengan sabar.”
Di masjid kecil, Bu Marni duduk setelah salat maghrib. Seorang pemuda mendatanginya.
“Ibu, ini ada bantuan dari jemaah masjid. Kami dengar ibu kena musibah.”
Ia membuka amplop. Di dalamnya hanya ada beberapa lembar uang.
Bu Marni tersenyum. “Terima kasih, Nak. Tapi tolong sampaikan ke yang lain… aku tak marah. Aku malah bersyukur.”
“Lho, kenapa, Bu?”
“Karena mungkin Allah belum undang aku ke Baitullah. Tapi Dia undang aku kembali menguatkan sabar. Dan itu pun bagian dari ibadah.”
Pemuda itu terdiam. Lalu tersenyum.
Tiga bulan kemudian, berita tentang biro haji furoda palsu ditangkap polisi menjadi sorotan. Banyak jemaah berhasil mendapatkan pengembalian sebagian dana. Tapi banyak pula yang tidak.
Marsudi tak mengharap uangnya kembali. Ia malah mulai membuka program haji reguler gratis bagi marbot masjid di kampung. “Kalau aku tak bisa cepat ke Baitullah, setidaknya aku bisa bantu mereka yang memang pantas didahulukan,” katanya.
Sementara Bu Marni, mulai menabung lagi. Seribu, dua ribu per hari. Tak peduli berapa lama. Katanya sambil tersenyum, “Kalau tak sampai ke Makkah, semoga Allah tetap catat niatku. Karena surga bukan ditentukan dari siapa yang paling cepat sampai, tapi siapa yang paling ikhlas menunggu.”