Secangkir Teh Terakhir
Sore hari diakhir bulan September itu cerah dan sejuk. Aku keluar cuma buat beli teh terakhirku. Ada satu kedai di tengah kota yang kusuka, milik orang Yaman. Pegawainya pakai jilbab warna-warni dengan motif abstrak, seperti pusaran cat di atas kanvas.
Aku bayar pakai uang terakhirku. Tehnya kubawa jalan-jalan, melewati pohon elm yang daunnya mulai berguguran. Di taman yang dulu sering aku datangi waktu kuliah, beberapa orang jogging bareng anjing-anjing mereka, lari ke arah matahari yang pelan-pelan tenggelam.
Aku duduk di bangku yang familiar, buka termos, dan menuang tehnya. Wangi kapulaga dan kayu manis langsung bercampur dengan aroma tanah lembap musim gugur. Tenang banget. Sunyi. Seolah waktu berhenti.
Aku duduk diam, membiarkan malam datang pelan-pelan. Jam delapan. Lalu sembilan. Aku mulai menghitung detik, seperti dulu aku hitung recehan di dompet waktu masih muda dan sok yakin kalau kehendakku sendiri adalah hal paling berharga di dunia.
Jam sepuluh lewat, setiap suara mulai bikin aku waspada. “Palingan cuma pohon berderit,” kubilang ke diri sendiri. “Tuna wisma juga butuh tempat tidur.” Tapi tetap saja, bayangan-bayangan yang lewat bikin aku deg-degan.
Aku pindah ke bangku yang lebih terang, dekat tiang lampu. Cahaya kuningnya menarik serangga malam, dan kupu-kupu kecil terbang di sekitarnya. Aku kembali menyeruput teh yang masih hangat. Kulihat tanganku. Kapalan. Kusam. Terlihat asing di bawah lampu jalan.
“Kamu pindah tempat, ya?” tanya sebuah suara yang kukenal baik.
Aku langsung menoleh. Tapi yang kulihat cuma para tuna wisma yang rebahan dan beberapa intel yang menyamar. Suara itu datang dari segala penjuru, tapi tak satu pun dari mereka tampaknya mendengarnya.
“Maaf,” jawabku entah kemana. “Bangku yang itu harusnya ya?”
Yang kudengar cuma tawa… tawa iblisku, yang melayang-layang di antara daun-daun yang jatuh.
Aku tarik napas dalam, mencoba tenang. Duduk diam. Badan rileks, pikiran masuk ke dalam tubuh. Bukan meditasi sih, karena aku nggak punya duit buat ikut kelas-kelas begitu. Ini lebih kayak teknik dari zaman aku kerja jadi buruh bangunan. Pelan-pelan, jantungku ikut irama napas, dan rasa takut berubah jadi rasa pegal biasa.
Tiba-tiba, terdengar suara musik kecil dari earphone seseorang. Aku cek ponsel. 11:59 malam. Begitu tanggal berubah, ponselku meledak dengan notifikasi kenangan: “Satu tahun lalu hari ini!” “Tiga tahun lalu kamu ada di sini!”, lengkap dengan foto-foto aneh yang bahkan bukan milikku. Aku terlalu benci kamera buat itu.
Aku kesal, tersedak, lalu melempar ponselku ke semak-semak. Dan tepat saat aku mau berdiri, kabut turun… dan dia muncul.
“Mephistopheles,” bisikku.
Dia pakai sport bra warna pink, legging hitam transparan, dan sepatu bersih. Nggak pernah kulihat sebelumnya, tapi aku tahu itu dia. Tubuhku langsung kaku.
“Sekarang aku Mephy,” katanya sambil senyum. “Eh, Jase. Kamu lihat anjingku nggak?”
“Anjing?”
“Cerberus. Ayah tahu aku mau ke taman, jadi dia nyuruh aku bawa sekalian. Tapi aku bilang, nggak mau. Anjingnya punya tiga kepala, tapi goblok semua.”
Aku belum sempat jawab, dia berkedip bersama ketiga kelopak matanya, dan duniapun ikut berkedip. Tiba-tiba semua lenyap. Taman hilang. Orang-orang hilang. Hanya kabut dan malam. Aku terjatuh, dan satu sentuhan darinya cukup bikin jantungku berhenti sejenak.
“Bentar, ya,” katanya. “Aku cari dia dulu.”
Dia masuk lagi ke kabut. Bayangan tubuhnya seperti mimpi yang samar-samar.
Sepuluh tahun lalu, aku pertama kali bertemu Mephistopheles. Waktu itu dia laki-laki. Kumis melintir, jas rapi, dengan aura “aku tahu segalanya”. Kami ngobrol panjang, dan dia tawarkan sebuah kontrak. Aku setuju. Tanda tangan. Selama sepuluh tahun aku akan punya pengetahuan tanpa batas.
Ya, aku sudah menjual jiwaku.
Dan sekarang, kita kembali ke bangku tempat semuanya dimulai. Ukiran tanda tangan kami masih ada di sana. Waktunya habis.
Aku diam, menerima detik-detik terakhirku. Lalu dia muncul lagi, kali ini sambil menggandeng anjing kecil berkepala tiga. Cerberus.
“Jadi,” katanya sambil duduk di sampingku, “sepuluh tahun lalu kamu minta pengetahuan. Gimana hasilnya?”
Aku tarik napas. “Enggak seperti yang kupikirkan, aku gagal jadi penemu terkenal”
“Ceritain dong,” katanya sambil senyum. Matanya bersinar emas. “Aku suka bagian akhirnya, sejak kapan kamu merasa hidupmu akan berakhir?”
Aku mulai cerita. Gagal startup. Dikhianati partner. Bangkrut. Jadi tukang. Jadi buruh. Jadi… tuna wisma. Aku kejar mimpi jauh setinggi langit, tapi pada akhirnya jatuh bersama kenyataan. Tapi di tengah semua itu, aku masih sempat bikin satu benda, termos ini.
“Kamu tahu,” katanya pelan, “dari semua hal yang kamu buat, ini yang paling bagus.”
Dia menyeruput tehku, senyum puas. “Enak banget. Kamu bikin ini sendiri?”
“Desain sendiri. Bisa jaga suhu teh seharian. Cukup tutup rapat dan rasanya akan tetap sama.”
“Bagus,” katanya. “Kalau bisa bikin versi untuk teh dingin juga, aku mau satu tiap warna.”
Aku bingung. “Mephy, ini maksudnya apa?”
Dia cium pipiku. “Kamu lucu. Aku iblis, kan? Kontrak bisa berubah sesuka hatiku. Sepuluh tahun lagi, kita ketemu di sini lagi. Bawa desain baru. Dan cemilan. Aku suka yang manis-manis.”
Dia lambaikan tangan, Cerberus menggonggong kecil. Lalu mereka lari bersama masuk kabut, meninggalkanku di tengah malam yang terasa hangat… untuk pertama kalinya sejak sekian lama.