Fantasi

Petualangan Kaus Kaki

Malam adalah waktu yang paling menegangkan bagi kami, para kaus kaki yang terpisah dari pasangannya. Ketika mesin cuci berhenti berdentum dan petugas laundry pulang, dunia kami mulai bergerak. Kami yang tersesat di sudut-sudut gelap dan celah di bawah mesin harus bertahan hidup sendiri.

Tapi ada satu hal yang paling kami takuti: robek.

“Beni! Kamu di sana?” bisik Renda, kaus kaki perempuan berenda yang selalu menemani Beni sejak mereka tersesat di tempat ini.

Beni, kaus kaki bergaris yang dulunya bagian dari seragam sekolah, bersembunyi di balik mesin pengering. Dengan ragu, dia mengangkat tumitnya. Sebuah lubang kecil tampak di sana, dengan benang yang mulai terurai.

Renda menelan ludah. Semua kaus kaki tahu, begitu benang mulai terurai, tubuhmu perlahan akan hancur dan berakhir di tempat yang paling menakutkan—tempat sampah.

“Kita harus cari cara buat nutup lubangnya,” kata Renda. “Kalau nggak, kamu bakal dibuang.”

Kaus kaki lain mulai berkumpul. Ada Sportsy, kaus kaki olahraga yang selalu sibuk balapan di troli laundry, Kaos, kaus kaki bekas yang suka berbagi cerita tentang kehidupan di luar sana, dan Wolan, kaus kaki rajut yang paling tua dan bijak.

“Satu-satunya cara,” kata Wolan sambil mengelus ujung benangnya, “kita harus cari jarum dan benang.”

Mata semua kaus kaki tertuju ke belakang mesin cuci besar di sudut ruangan. Di sanalah legenda mengatakan ada jarum dan benang yang sering digunakan oleh petugas laundry.

Tanpa pikir panjang, Renda menggenggam ujung benang Beni. “Ayo kita ke sana.”

Bersama-sama, mereka berjalan mengendap-endap melewati lantai yang dingin, menghindari gumpalan debu dan kertas struk yang terselip di sudut ruangan. Di belakang mesin cuci, mereka menemukan sesuatu yang menyeramkan—kumpulan kaus kaki robek yang sudah kehilangan bentuknya, tergantung di kawat seperti kain lap tak terpakai.

“Siapa yang datang ke wilayahku?” suara berat bergema di ruangan itu. Dari balik bayangan, muncullah Jahit, kaus kaki tua berbulu dengan lubang besar di bagian tumitnya.

Beni menelan ludah. “Saya… saya butuh pertolongan. Tumit saya mulai berlubang.”

Jahit mendekat, matanya yang pudar menatap lubang di kaki Beni. “Kau berani mengambil risiko untuk dijahit?”

Beni menatap Renda, yang mengangguk penuh keyakinan. “Saya siap.”

Jahit mengeluarkan jarum besar berkilau dan benang tebal. Dengan tangan gemetar, ia mulai menjahit. Setiap tusukan terasa seperti aliran listrik yang mengalir di tubuh Beni. Benang baru muncul, menutupi luka lama, menguatkan jahitan yang hampir terurai.

Ketika jahitan terakhir selesai, Beni berdiri dan merasakan sesuatu yang berbeda. Tubuhnya lebih kokoh, lebih kuat. Jahitan itu bukan sekadar menambal—ia telah memberikan kekuatan baru.

“Kau sekarang adalah kaus kaki yang tak mudah robek,” kata Jahit. “Jangan sia-siakan kesempatan ini.”

Beni dan Renda kembali ke tengah ruangan, disambut sorak-sorai teman-teman mereka. Malam itu, mereka merayakan kemenangan kecil mereka dengan menari di bawah cahaya neon. Dan di sudut ruangan, Jahit tersenyum sebelum menghilang kembali ke dalam bayangan.

Karena di dunia para kaus kaki yang terpisah dari pasangannya, kehilangan bukanlah akhir.

Terkadang, itu adalah awal dari sesuatu yang lebih baik.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock