Senja Terkikis
Aku terdampar di sudut taman, terduduk lemah di antara bunga-bunga yang tetap berseri dan rerumputan yang menari bersama angin. Di atas kursi panjang ini, aku menengadah ke langit, mencari sesuatu yang hilang—sesuatu yang tak kasat mata, tetapi begitu nyata dalam jiwaku. Langit kini bukan lagi putih bersih, melainkan pucat dan muram, seolah kelelahan meratapi kepergian mentarinya. Mungkin inilah yang dirasakan Nayla saat ini—kehampaan yang tak bertepi setelah aku merebut panutan hidupnya. Hatiku perih, seakan mendung pekat yang menggantung di angkasa adalah cerminan dari diriku sendiri. Langit mengingatkanku pada Alana.
Kupalingkan wajah, mencoba mencari kehangatan di bumi, tetapi tak kutemukan. Dedaunan kering berserakan, terhempas tanpa arah, meninggalkan ranting yang dulu menjadi rumahnya. Apakah kisahku dan Rayhan tak jauh berbeda? Tuhan mempertemukan kami, tetapi tidak untuk menyatukan kami. Aku tak tahu lagi bagaimana rupaku saat ini, seberapa koyak hatiku, dan sedalam apa luka yang menggores jantungku. Aku sakit. Tapi pantaskah aku menyiksa diriku sendiri?
Ah… mengapa perasaan ini tak juga sirna? Mengapa harus nama itu lagi? Rayhan. Mengapa otak dan hatiku tak bisa berdamai, meski hanya sejenak? Tuhan, kenapa Kau tak ciptakan tombol “hapus” di pikiranku agar aku bisa menghilangkan namanya selamanya? Semua pertanyaan itu berputar tanpa jawaban.
Dan seperti pusaran yang tak kunjung reda, ingatan dua bulan lalu kembali menghantamku.
Aku terduduk di kursi ruang tamu, tubuhku lunglai seakan tak lagi mampu menyangga beban ini. Dadaku sesak, seperti dihimpit sesuatu yang tak terlihat. Air mataku jatuh tanpa bisa kuhentikan, menodai kertas merah jambu yang masih kugenggam erat. Huruf demi huruf yang terbaca begitu tajam, mengiris hatiku lebih dalam dari yang kubayangkan. Rayhan, cahaya yang baru saja menerangi hidupku, ternyata adalah matahari bagi gadis lain. Nayla.
Alana datang membawa badai, mengirimkan secarik kertas yang mengubah segalanya. Dia ingin mataharinya kembali—pria yang tanpa kusadari telah kucuri darinya.
Betapa kejinya aku. Betapa bodohnya aku. Aku tidak tahu bahwa Rayhan Aditya, calon tunanganku, telah memiliki kisahnya sendiri dengan Nayla. Tapi ketidaktahuan tidak membebaskanku dari kesalahan. Aku telah mencuri sesuatu yang bukan milikku. Aku telah merenggut kebahagiaan orang lain.
Ketakutan terbesar seorang istri adalah kehilangan imamnya. Namun, aku bahkan belum sempat menjadi istri, dan aku harus merelakan seseorang yang kuanggap sebagai calon imamku. Sosok yang kuimpikan akan membimbingku menuju bahtera penuh berkah.
“Lana, dengarkan aku. Aku mencintaimu.”
“Maaf, Ray. Aku butuh waktu untuk sendiri.”
“Tapi pertunangan kita tinggal sebulan lagi…”
“Aku harus pergi. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam….”
Aku berbalik, meninggalkannya berdiri kaku di depan rumahku. Kakiku berat, seolah tertambat pada tanah. Tapi aku harus pergi. Entah untuk apa. Untuk menenangkan diri? Atau sekadar melarikan diri dari kenyataan? Kenyataan bahwa Rayhan bukan milikku, dan tak akan pernah menjadi milikku. Semua impian yang kami rajut bersama kini hancur, tercerai-berai hanya karena selembar kertas yang membawa kenyataan pahit.
Sebulan berlalu. Aku masih di sini, masih menyimpan perasaan yang sama. Masih berharap bahwa semuanya hanyalah mimpi buruk yang segera berakhir saat aku membuka mata. Tapi kenyataan tetaplah kenyataan. Rayhan bukan milikku. Dia milik Nayla.
Hatiku bergetar ketika aku melihat mobilnya berhenti di dekatku. Senyum refleks muncul di wajahku, tapi segera memudar ketika seorang gadis berjubah krem turun dari dalam mobil. Cantik. Anggun. Sempurna. Itukah Nayla? Aku hampir jatuh terduduk lagi, seperti sebulan lalu.
Tapi aku harus lebih kuat kali ini. Aku pejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, lalu kembali membuka kelopak mata dengan sebuah senyuman. Mereka semakin mendekat. Semakin dekat… dan…
Ya Allah, kuatkan aku. Jangan biarkan aku tenggelam dalam permainan setan. Aku harus ikhlas.
“Assalamu’alaikum, Lana.”
Suara itu mengembalikan kesadaranku.
“Wa’alaikum salam, Ray.”
“Bagaimana kabarmu?”
“Alhamdulillah, sehat. Kamu?”
“Alhamdulillah. Lana, kenalkan ini Nayla. Mayla, ini Lana.”
Aku mengalihkan pandangan ke gadis yang duduk di sampingnya. Senyumnya tulus. Tak ada paksaan, tak ada rasa bersalah. Aku merasa dadaku diremas. Bahkan dalam hal tersenyum, aku kalah darinya. Aku ingin membalas senyumnya, tapi hatiku masih bergejolak. Aku takut luka di dadaku semakin menganga.
Namun, Nayla tetap mengulurkan tangannya.
“Nayla,” katanya lembut.
“Lana,” jawabku, terbata-bata.
Allah… Aku sadar. Aku bukan pemilik takdirku. Aku bisa berencana, tapi pada akhirnya, semua ada dalam kehendak-Mu. Jika Rayhan memang jodoh Alana, bantulah aku untuk merelakannya. Bantulah aku untuk mengikhlaskannya.