MotivasiPendidikan

Di Balik Pos Satpam

Di sebuah ruangan kecil berukuran 3×3 meter, yang lebih mirip pos satpam daripada ruang kerja, berdirilah seorang lelaki dengan tubuh besar, berotot, dan tinggi tegap. Pos satpam ini adalah tempatnya setiap pagi, tempat di mana ia bekerja keras hingga matahari terbenam. Namun, meski berprofesi sebagai satpam, ada sesuatu yang berbeda darinya. Rambut panjang yang dibiarkannya tumbuh lebat, kontras dengan imej satpam pada umumnya yang selalu berambut pendek.

Namanya Ricky Subarja. Nama yang selalu tersemat di dada kiri seragamnya. Nama yang familiar di telinga kami, para siswa di SMA Negeri 4. Bahkan, aku sempat bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang satpam menjadi begitu terkenal di kalangan murid-murid sekolah ini? Terutama di kalangan siswa laki-laki, dia seolah menjadi teman mereka, sosok yang akrab dan mudah didekati.

Lambat laun, aku mulai memahami kenapa dia begitu dikenal. Bukan hanya karena fisiknya yang mencolok, melainkan karena sikapnya yang sangat ramah dan mudah bergaul dengan siapapun. Banyak murid yang datang ke pos satpam hanya untuk bercengkerama dengannya, bahkan menjadikannya tempat nongkrong favorit saat istirahat. Tak jarang, suasana di sana menjadi riuh dengan tawa lepas dari para siswa.

Namun, meski dikenal sebagai sosok yang sangat ramah, ada kalanya Ricky menunjukkan sisi lain dari dirinya. Ketika ada murid yang melanggar peraturan, tak jarang ia menjadi sangat tegas dan marah. Aku pernah sekali melihatnya membentak seorang siswa yang datang terlambat. Dengan suara lantang, ia berkata, “Kamu ini! Sudah jam berapa sekarang? Ada niat sekolah nggak sih?” Siswa yang dimarahi hanya terdiam, tak mampu berkata apa-apa. Meski marah, setiap murid yang dimarahi sepertinya tak pernah menyimpan dendam. Mereka hanya melihat itu sebagai bagian dari tugasnya sebagai satpam, dan setelah itu, mereka kembali bercanda bersama, seolah tak ada yang terjadi.

Seiring waktu, aku semakin dekat dengan Ricky, yang sering dipanggil Pak Kiky oleh teman-teman. Setiap kali aku datang ke pos satpam, Pak Kiky selalu menyambut kami dengan senyum hangat. Kami sering bercanda di sana, sampai aku tahu bahwa rumah Pak Kiky berada di Kebun Indah, sebuah tempat yang cukup jauh, dan ia biasanya bersepeda menuju sekolah setiap pagi.

Lama-kelamaan, aku mulai memperhatikan kebiasaannya. Ia selalu membawa sebuah buku kecil ke mana-mana, buku yang lebih mirip buku harian. Aku sering melihatnya sedang menulis sesuatu di sana. Ketika aku bertanya, ia menjawab bahwa ia sedang menulis harapan-harapannya. Aku merasa penasaran, kenapa seorang satpam memiliki kebiasaan seperti itu? Mengapa dia menulis tentang harapannya di buku kecil itu?

Ada saat-saat ketika Pak Kiky bisa begitu baik, namun ada kalanya ia menjadi keras. Namun aku sadar, kekerasannya itu bukan karena ia marah, melainkan karena ia ingin menegakkan kedisiplinan. Dia selalu berbicara dengan tegas, namun hatinya tidak pernah menyimpan kebencian. Begitu juga dengan kami, para siswa. Kami mengerti bahwa dia hanya menjalankan tugasnya dengan profesionalisme yang tinggi.

Ada satu hal yang membuatku semakin kagum padanya. Meskipun bukan seorang guru, Pak Kiky selalu memberikan nasihat kepada kami. Ia mengingatkan kami untuk selalu belajar dengan giat, untuk tidak menyerah pada impian kami. Sesuatu yang tidak jarang kita dengar dari seorang satpam, namun sangat menginspirasi. Pak Kiky memiliki jiwa mendidik yang seolah tidak dimiliki oleh banyak guru.

Suatu hari, Pak Kiky bercerita tentang mimpinya. Aku terkejut mendengar apa yang dia katakan. Mimpi yang tak biasa bagi seorang satpam. Mimpi yang bisa membuat banyak orang terdiam mendengarnya. Dia bermimpi untuk membuat orang lain pintar, untuk membantu orang-orang yang kurang beruntung agar bisa mengakses pengetahuan. Ternyata, di rumahnya, Pak Kiky menyediakan sebuah perpustakaan mini untuk tetangganya. Meskipun tempatnya kecil, tapi bagi mereka yang tak mampu membeli buku, itu adalah berkah yang sangat berarti.

Aku terkesan dengan semangat dan perjuangan Pak Kiky. Di tengah kesulitan hidup yang semakin berat, ia tak hanya berpikir untuk dirinya sendiri, tetapi berusaha membantu orang lain, terutama mereka yang membutuhkan. Dalam kesederhanaan hidupnya, dia mengajarkan kepada kami bahwa kebaikan dan semangat untuk berbagi adalah hal yang jauh lebih berharga daripada segala harta yang bisa kita miliki.


Karya: Rized Wiasma

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock