Suara berat khas lelaki itu menyadarkan aku bahwa aku masih berada di Indomaret, bukan di kasur empukku yang nyaman.
Suara tuts keyboard kasir bergema di telingaku. Aku menyerahkan beberapa lembar uang kertas, lalu beranjak menuju lemari pendingin untuk mengambil air kelapa favoritku. Aroma kopi instan bercampur dengan wangi roti baru panggang samar-samar tercium saat aku melewati rak-rak berisi perlengkapan mandi, camilan, dan bumbu dapur.
Namun, ketika aku berdiri di depan lemari pendingin berembun, sesuatu terjadi begitu cepat.
“Bruuk!”
Tubuhku kehilangan keseimbangan. Ada sesuatu—bukan, seseorang—yang menabrakku. Dalam sepersekian detik, aku terjerembab ke lantai, dan yang ada dalam dekapanku adalah seorang bocah berbadan tambun yang kini melongo menatapku.
Hening.
Aku mengatur napasku yang sedikit berantakan dan memastikan bocah itu baik-baik saja. “Adek gak apa-apa?” tanyaku, membantu si kecil berdiri. Namun, sebelum aku sempat bangun, sebuah tangan kokoh menepuk lenganku.
Lalu, aroma itu menyeruak.
Aroma parfum Axe Black—aroma yang dulu begitu akrab, aroma yang membawaku ke lorong kenangan yang tak kusangka masih tersimpan rapi di ingatan. Perlahan, aku mendongakkan kepala.
“Mbak gak apa-apa?”
Jantungku seakan berhenti berdetak sejenak. Di hadapanku, berdiri seseorang yang jelas bukan pegawai Indomaret.
Dengan mata membulat, aku menatapnya. Oh Tuhan, ini bukan manusia… ini Dewa. D-E-W-A.
Lelaki itu berkemeja hitam slim-fit, celana bahan abu-abu yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Tinggi, tegap, dan—oh, gingsul. Gingsul yang muncul ketika bibirnya sedikit melengkung khawatir.
Tangannya mengguncang lenganku ringan, membawaku kembali ke realitas.
“Mbak gak apa-apa?” ulangnya.
Aku menelan ludah. “Eh… iya. Gak apa-apa,” jawabku gelagapan.
Dia menoleh ke bocah tambun di sampingku. “Ken, minta maaf sama Mbaknya.”
Si kecil yang ternyata bernama Ken buru-buru mengangguk dan berkata, “Maaf, Mbak.”
Aku menggeleng cepat. “Oh, gak apa-apa, Mas. Mungkin lantainya yang licin.” Tuhan, kenapa aku malah ngomongin lantai?!
Mimpi apa aku semalam?
Setelah tiga hari meratapi laptop kesayanganku yang mogok dan harus masuk bengkel, sekarang semesta justru menghadiahkanku sebuah pertemuan yang rasanya seperti adegan dalam novel romantis.
Aku bukan tipe perempuan yang mudah jatuh hati. Aku skeptis pada asmara. Bagiku, cinta hanyalah bumbu klise dalam kehidupan yang sering kali berakhir pahit. Tapi kali ini, aku merasa Tuhan sedang mengujiku. Seolah bertanya, “Masih yakin kalau asmara itu bulsh*t?”
Lelaki di depanku ini, dengan semua kesempurnaannya, adalah ujian yang tak pernah kuduga.
“Mbak, ini minumannya sekalian ya,” ujarnya pada kasir sambil meletakkan sebotol air kelapa di meja.
Aku menoleh kaget. “Gak usah, Mas. Saya bayar sendiri.”
Dia mengerutkan kening, seolah menolak ditolak. Antara sikapnya yang so sweet atau dia memang seorang pemaksa, aku tidak tahu. Tapi senyumnya… senyumnya membuatku kehilangan kata-kata.
Akhirnya, di parkiran Indomaret, kami berpisah.
“Makasih ya, Mas!” ucapku sekali lagi.
Dia hanya mengangguk. Tangannya melambai, sebuah isyarat bahwa episode spesial ini akan segera berakhir.
Saat mobil Range Rover Sport hitamnya melaju perlahan keluar dari parkiran, aku masih terpaku di tempat.
Manusia setengah Dewa itu benar-benar nyata.