Anak-anakPersahabatan

Persahabatan Baru

Pagi itu, seluruh pasang mata tertuju pada seorang murid perempuan yang berjalan di samping Bu Maya. Wajahnya tampak malu-malu, langkahnya ragu, seolah-olah setiap inci ruangan ini adalah dunia baru yang asing baginya. Di tengah kelas, Bu Maya berhenti. Gadis itu pun ikut berhenti di belakangnya.

“Murid-murid, hari ini kita kedatangan teman baru. Silakan memperkenalkan diri,” ujar Bu Maya dengan senyum hangat.

Gadis itu menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membuka suara. “Terima kasih, Bu. Hai, teman-teman. Namaku Raisa. Senang bertemu dengan kalian semua. Mohon bantuannya, ya.” Suaranya lembut, tapi cukup jelas untuk terdengar di seisi kelas.

“Nah, mulai sekarang, Raisa akan belajar bersama kita. Jadi, bantu dia agar bisa beradaptasi dengan lingkungan baru, ya. Bisa?”

“Bisa, Bu!” sahut kami serempak.

Aku mengangkat tangan, lalu berkata, “Bu, bolehkah Raisa duduk di sini, di sebelahku? Kebetulan kursi ini masih kosong.”

Bu Maya tersenyum. “Tentu. Raisa, silakan duduk di samping Amira.”

Aku menoleh ke arahnya, menunggunya datang. Begitu dia tiba di sampingku, dia mengulurkan tangan sambil tersenyum. “Hai, Amira. Terima kasih sudah mengajakku duduk di sini. Aku harap kita bisa menjadi sahabat.”

Aku menjabat tangannya erat. “Aku juga berharap begitu.”

Sejak saat itu, Raisa duduk di sampingku. Mengisi kekosongan yang ditinggalkan Quin—sahabatku yang pindah sekolah. Awalnya, aku berharap Raisa bisa menggantikan Quin, mengisi ruang yang kosong dalam hidupku. Namun, seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa setiap persahabatan memiliki warna yang berbeda.


Hari-hari berlalu, dan Raisa membawa kehangatan yang berbeda ke dalam hidupku. Dia adalah orang yang ceria dan mudah bergaul. Dia bisa bercanda dengan siapa saja, tertawa lepas tanpa ragu. Tapi bukan hanya itu—Raisa juga bijak. Dalam diskusi kelas, dia sering mengungkapkan pendapatnya dengan tenang dan penuh pertimbangan.

Aku mulai mengenal bakat-bakatnya. Raisa pandai menggambar dan menulis cerita. Setiap kali ada waktu luang, dia akan mencoret-coret sketsa di bukunya, menciptakan dunia dengan garis-garis yang indah. Dia juga pernah menunjukkan kepadaku kumpulan cerita yang dia tulis sendiri.

Saat kutanya bagaimana dia bisa sehebat itu, dia tersenyum dan berkata, “Ayahku seorang pelukis dan penulis. Sejak kecil, aku belajar darinya. Aku juga punya guru di sekolah lama yang selalu membimbingku dalam menulis.” Matanya berbinar saat bercerita, seakan mengenang masa-masa indah itu.

Raisa adalah sosok yang dikagumi banyak orang. Semua menyayanginya karena dia baik hati dan ringan tangan. Jika ada teman yang kesulitan dalam pelajaran, Raisa akan dengan sabar membantu. Aku melihatnya dikelilingi banyak teman, dan entah kenapa, perasaan cemburu mulai muncul dalam diriku.

Berbeda dengan Quin, sahabat lamaku. Aku dan Quin dulu selalu berdua. Kami pergi bersama, belajar bersama, bahkan di akhir pekan pun sering menghabiskan waktu bersama. Sejak Quin pergi, aku merasa kehilangan. Dan kini, meskipun Raisa ada di sampingku, rasanya tetap berbeda. Aku ingin memiliki sahabat seperti Quin lagi—seseorang yang hanya untukku, yang selalu ada hanya untukku. Tapi Raisa tidak seperti itu. Dia milik semua orang.

Aku mulai menjaga jarak. Mungkin aku hanya takut. Takut bahwa jika aku terlalu dekat dengannya, aku akan kehilangan lagi.


Suatu hari, saat istirahat, Raisa mengajakku bicara empat mata.

“Ada yang ingin kubicarakan denganmu,” katanya serius. “Bisakah kita mengobrol nanti saat istirahat?”

Aku mengangguk.

Di kantin, dia bahkan mentraktirku sebelum akhirnya kami duduk berdua di sudut sekolah.

“Aku ingin bicara jujur,” katanya. “Aku tahu kamu dulu sangat dekat dengan Quin. Dan setelah Quin pergi, kamu jadi lebih tertutup. Aku mendengar itu dari teman-teman yang lain.”

Aku terdiam.

“Dan sekarang… aku merasa kamu menghindariku. Apakah karena aku tidak seperti Quin?”

Aku tercekat. Aku tidak pernah mengatakannya, tapi bagaimana Raisa bisa tahu?

Dia tersenyum, lalu melanjutkan, “Amira, aku gak bisa menjadi Quin. Aku adalah diriku sendiri. Aku ingin menjadi sahabatmu dengan caraku sendiri. Tapi aku juga ingin kamu tahu, aku pun pernah kehilangan sahabat-sahabatku saat pindah ke sekolah ini. Aku meninggalkan guru yang membimbingku, teman-teman yang menyayangiku. Tapi aku mencoba melihat ke depan, mencoba menerima orang-orang baru dalam hidupku. Dan kamu adalah orang pertama yang menerimaku di sekolah ini.”

Aku menatapnya, merasa dadaku sesak oleh berbagai emosi yang bercampur aduk.

“Kamu punya banyak teman yang peduli padamu, Amira. Tapi kamu tidak melihat mereka karena kamu terus berada dalam bayangan masa lalu. Aku ingin kamu tahu, aku ada di sini. Aku ingin menjadi sahabatmu, bukan pengganti Quin, tapi sahabat dalam caraku sendiri.”

Aku menggenggam tangannya erat. Air mata hampir jatuh dari pelupuk mataku.

“Raisa… Terima kasih.”

Aku merasa lega. Seolah sesuatu yang selama ini mengikat hatiku perlahan mulai terlepas.


Keesokan harinya, saat aku tiba di kelas, Raisa sedang berkumpul dengan teman-teman yang lain. Begitu melihatku, dia tersenyum lebar dan menarik tanganku.

“Teman-teman, kenalkan, ini Amira! Dia murid baru di kelas kita!” katanya bercanda.

Seketika, tawa riuh memenuhi kelas.

Aku tertawa bersama mereka. Pagi itu, aku bertekad untuk menjadi Amira yang baru—seseorang yang siap menerima kehangatan persahabatan dengan hati yang terbuka.


Cerpen Karangan: Aqil Azizi

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock