DramaKehidupan

Bisakah kamu melihatku sekarang?

Menjadi tak terlihat itu adalah kekuatan superku. Tapi bukan, aku bukan pahlawan super yang lagi beraksi di tengah keramaian, menyelamatkan dunia sambil terbang di atas gedung pencakar langit. Sebenarnya, aku cuma seorang wanita di usia tertentu yang tiba-tiba jadi tak terlihat.

Tapi jangan khawatir, ini bukan cerita sedih tentang wanita paruh baya yang merindukan masa muda. Itu nggak akan menghasilkan apa-apa. Lagipula, aku orang yang selalu selesaiin apa yang udah aku mulai. Aku terbiasa jadi orang yang sering jadi tempat tanya, yang semua orang cari jawaban dariku, tapi juga orang yang pura-pura nggak sadar akan kekuatan yang aku punya—terutama soal bagaimana penampilanku bisa bikin orang lain melakukan sesuatu untukku. Kalau kamu pikir aku narsis atau dangkal, ya… aku nggak salahkan. Tapi, aku bukan keduanya. Aku cuma realistis dan jago banget buat dapetin hasil yang aku mau di setiap situasi.

Aku ini ratu dalam… memanipulasi—eh, maksudnya mempengaruhi orang, gitu. Itu bagian dari pekerjaanku. Aku yang bertanggung jawab atas keuangan di departemen, dan itu bukan perkara gampang. Aku harus belajar cara mendesak orang supaya cepat mengambil keputusan, meskipun mereka mungkin nggak nyaman. Bukan urusanku kalau mereka nanti menyesal, karena penyesalan nggak akan mengubah apa-apa.

Tapi, kamu nggak akan tahu hal-hal kayak gitu kalau kamu lihat aku sekarang, duduk di kedai kopi sederhana ini. Aku di sini karena lokasinya strategis banget, tepat di seberang rumah sakit tempat aku kerja, jadi aku bisa nyelesain proposal hibah ini dengan tenang. Dan berkat kekuatan tak terlihatku, nggak ada yang gangguin aku. Ini bagus banget karena proposal ini harus aku kirim besok biar dana departemen kami aman. Kalau disetujui, hibah ini bakal bawa jutaan dolar dan ngejamin banyak pekerjaan buat setahun ke depan. Jadi ini hal besar, dan aku emang suka banget dengan tekanan.

Tapi kalau kamu lihat aku, mungkin kamu bakal ngira aku cuma ibu rumah tangga yang lagi keluar karena kesepian setelah anak-anaknya pada pindah rumah. Kamu mungkin mikir aku punya suami yang udah nggak tertarik lagi sama aku—perut aku yang mulai membesar, uban yang mulai muncul, dan garis-garis senyum yang mungkin cuma suamiku yang masih nganggapnya manis.

Dan… tebakan kamu nggak sepenuhnya salah. Aku emang kangen anak-anak. Mungkin aku sedikit kesepian, tapi aku nggak sebosannya ibu rumah tangga yang hidupnya gitu-gitu aja. Soal suamiku, aku juga nggak yakin deh gimana perasaan Dave tentang aku akhir-akhir ini. Kami berdua sibuk banget, kayaknya nggak pernah saling memperhatikan. Kami baik-baik aja, nggak ada masalah besar. Tapi kadang aku merasa aku udah berubah jadi sosok yang cuma ada aja—seseorang yang Dave anggap selalu ada, tanpa perlu dipikirin lagi. Masa kecilnya penuh kekacauan, orang tuanya sering bertengkar soal uang, pindah-pindah rumah, dan dia harus ngurus dirinya sendiri.

Waktu pertama kali ketemu, aku masih dalam fase liar, jadi kekacauan dalam diriku malah terasa nyaman buat dia. Tapi semakin kenal, aku sadar dia sebenernya butuh stabilitas. Dan tanpa sadar, aku jadi pengen jadi batu karangnya—seseorang yang bisa dia andalkan. Aku kaget sendiri waktu jatuh cinta dalam banget dan ngerasa lebih percaya sama dia daripada siapa pun. Kami bangun hidup bareng, dan sebelum sadar, aku udah ngerasa ini tempatku, ini kehidupan yang harus aku jalani. Dave sering bercanda bilang aku mantan anak liar-nya, berterima kasih karena sekarang aku ngasih dia kehidupan yang stabil, yang bisa diprediksi—sesuatu yang dia impikan.

Tapi aku sadar, aku udah mengorbankan banyak hal. Dulu aku bisa nekat pergi ke Eropa cuma bawa ransel, daki tebing tanpa peralatan mahal (yang pasti sekarang Dave bakal maksa aku beli demi alasan keamanan), nyetir berjam-jam cuma buat nonton konser, atau ambil kerjaan cuma karena seru. Dulu aku nggak peduli soal uang atau stabilitas; tujuan hidupku cuma jangan sampe ketinggalan serunya. Temen-temen kerja pada iri sama hidupku dan selalu nanya-nanya tentang akhir pekanku yang penuh cerita seru.

Sekarang? Cerita seru yang bisa kuceritain cuma waktu kami harus pompa air dari basement yang kebanjiran. Aku bisa aja teriak-teriak di kedai kopi ini, dan mungkin orang-orang cuma ngeliatin sebentar, terus balik lagi ngobrol hal yang lebih menarik. Nggak ada yang peduli.

Dan di situlah aku mulai sadar—ketidaknampakanku memberi aku keberanian buat coba hal-hal gila. Kalau aku nggak terlihat, nggak ada yang bakal nilai keputusan burukku. Nggak ada yang peduli kalau aku nyanyi fals di karaoke malam itu. Aku mulai ngebayangin hal-hal konyol yang bisa aku lakuin kalau nggak ada yang ngeliatin aku. Tapi aku geleng kepala, coba fokus lagi. Aku harus selesaiin proposal ini sebelum kelas zumba nanti malam.

Tapi beberapa menit kemudian, aku dapet ide aneh. Aku liat ada wanita di sebelahku yang bangun, ninggalin meja dengan bukunya dan kotak kacamatanya, seakan-akan tempatnya masih dipesan. Aku liat kotak itu. Lalu muncul pertanyaan di kepala, “Gimana kalau aku ambil kotaknya? Ada yang bakal nyadar nggak ya?”

Ini ide konyol banget, karena aku bukan pencuri dan aku nggak butuh kotak kacamata itu. Tapi aku penasaran… seberapa tak terlihatkah aku? Sebelum aku bisa mikir panjang, tanganku udah bergerak, pake serbet nutupin kotak itu, ngangkatnya, terus masukin ke tas. Jantungku berdetak kencang. Aku liat sekeliling—nggak ada yang peduli. Aku bener-bener tak terlihat.

Proposal hibahku disetujui, dan minggu berikutnya penuh dengan perayaan. Aku hampir lupa soal kejadian di kedai kopi itu—sampai aku inget ekspresi wanita itu yang tampak bingung, nyari-nyari kotak kacamatanya sebelum akhirnya pergi begitu aja.

Setelah itu, aku mulai uji coba batas tak terlihatku dengan cara lain. Aku ambil penggiling lada temenku pas di klub buku, niatnya mau balikin pas dia sadar, tapi dia nggak pernah sadar. Aku juga diam-diam nggak balas pesan anakku selama tiga hari—dia baru nyadar pas butuh duit.

Lalu suatu hari, aku lakuin yang lebih gila lagi. Aku sewa mobil sport Porsche, bawa keluar kota dengan kecepatan tinggi—dan ditilang polisi karena ngebut dua kali lipat dari batas kecepatan. Mobil sewaanku langsung disita.

Dan aku harus telpon Dave, ngelakuin panggilan telepon paling malu dalam hidupku.

Waktu liat Dave turun dari mobilnya, aku liat dia dengan cemas. Aku pikir dia bakal marah, tapi dia malah senyum lebar, peluk aku dan bisik, “Aku senang liat anak liar-ku balik lagi.”

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa terlihat. Dan aku suka itu.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock