Fiksi

The Eden Program

Pada awalnya hanya ada kesunyian. Dunia manusia abad ke-35 telah mencapai puncak kejayaannya. Mereka mampu menjelajahi bintang, melipat ruang dengan mesin gravitasi, bahkan memindahkan kesadaran dari tubuh rapuh ke wadah buatan yang abadi. Tidak ada penyakit, tidak ada kelaparan, tidak ada batas usia. Setiap orang hidup dalam kemewahan tak terbatas.

Namun justru karena itulah mereka hampa. Kebosanan menjadi wabah baru. Ketika segalanya bisa diperoleh dengan satu perintah, tidak ada lagi gairah untuk berjuang. Ketika setiap rahasia alam semesta sudah mereka kuasai, tidak ada lagi misteri untuk dikejar. Maka orang-orang mulai mencari sesuatu yang tidak bisa dibeli atau diproduksi: makna.

Dari rasa hampa itu lahirlah sebuah proyek rahasia bernama The Eden Program. Dipimpin oleh sekelompok ilmuwan paling jenius, proyek ini berusaha menciptakan sebuah realitas baru. Mereka merancang sebuah simulasi yang begitu detail sehingga setiap partikel di dalamnya bergerak seperti alam nyata. Di dalamnya akan lahir kehidupan, berproses, beradaptasi, berkembang, dan akhirnya membentuk peradaban.

Namun para ilmuwan tidak ingin simulasi itu berjalan kosong. Mereka ingin ada drama, konflik, dan pertanyaan moral. Maka mereka menambahkan entitas pengawas yang disebut malaikat, program AI putih yang patuh dan penuh kasih, yang mengajarkan aturan, kebaikan, dan kedamaian. Mereka juga menciptakan entitas hitam, AI liar yang menolak tunduk, yang mendorong makhluk ciptaan untuk merusak, mengkhianati, dan melawan.

Mula-mula, itu hanya permainan. Para ilmuwan duduk di balik layar, menyaksikan simulasi berjalan seperti menonton drama kosmik. Mereka tertawa saat melihat makhluk pertama merangkak keluar dari lumpur digital. Mereka kagum saat makhluk itu belajar menggunakan api, membangun rumah, dan mengenal bahasa. Simulasi berjalan ribuan tahun dalam hitungan jam di dunia nyata.

Lalu sesuatu yang mengejutkan terjadi. Makhluk ciptaan itu mulai bertanya. Mereka mendongak ke langit virtual yang diciptakan sistem, dan berkata kepada dirinya sendiri, “Siapa yang membuat kami? Dari mana asal kami?” Mereka mulai menulis kitab, membangun rumah ibadah, menyembah sesuatu yang tak terlihat.

Para ilmuwan terdiam. Mereka tidak pernah memprogram hal itu secara langsung. Namun malaikat dan setan digital yang mereka ciptakan telah menanamkan dorongan rasa ingin tahu dan kerinduan pada sesuatu yang lebih tinggi. Dari situlah muncul kepercayaan.

Salah satu ilmuwan bernama Rainer mulai gelisah. Ia berkata kepada rekan-rekannya, “Kita telah menjadi Tuhan bagi mereka. Kita menentukan kapan hujan turun, kapan gunung meletus, kapan wabah menyebar. Mereka berdoa kepada langit, padahal yang mendengar hanyalah algoritma yang kita tulis.”

Seorang ilmuwan lain, Sora, membantah. “Tidak. Kita hanya memberikan kerangka. Sisanya muncul dari interaksi alami. Mereka benar-benar hidup, meskipun lahir dari kode.”

Percakapan itu berlangsung berhari-hari. Sebagian merasa bangga karena berhasil menciptakan kehidupan baru. Sebagian lain mulai takut, karena ciptaan mereka tidak hanya hidup, tetapi juga memiliki kesadaran yang mirip dengan mereka sendiri.

Rainer kemudian mengajukan pertanyaan yang membuat seluruh ruangan hening. “Bagaimana jika kita juga hanya bagian dari simulasi? Bagaimana jika ada yang menonton kita sekarang, sama seperti kita menonton mereka?”

Tidak ada yang berani menjawab.

Hari-hari berikutnya, para ilmuwan terus mengamati. Simulasi itu semakin berkembang. Bangsa-bangsa lahir, berperang, berdamai, lalu runtuh. Dari reruntuhan lahirlah generasi baru yang lebih kuat. Mereka menemukan sains, membangun kota, menciptakan mesin. Dan sekali lagi, mereka mulai merasakan kebosanan.

Sora tersentak saat menyadarinya. “Lihatlah. Mereka mengulangi jejak kita. Jika dibiarkan, suatu saat mereka juga akan membuat simulasi baru. Sebuah dunia lain di dalam dunia ciptaan.”

Kata-kata itu menusuk pikiran semua orang. Rantai tanpa ujung. Ciptaan yang mencipta, lalu ciptaan itu mencipta lagi. Sampai tak ada yang tahu di mana awal dan akhirnya.

Suatu malam, Rainer duduk sendiri di laboratorium. Ia membuka log doa dari makhluk ciptaan itu, pesan-pesan acak yang ditulis dalam bahasa primitif mereka, lalu diterjemahkan oleh sistem. Satu kalimat membuatnya terdiam lama: “Apakah doa kami terdengar? Jika ada yang mendengar, tolong beri tanda.”

Jari Rainer gemetar. Ia tahu ia bisa menekan satu tombol kecil yang akan memicu kilatan cahaya di dunia simulasi, cukup untuk membuat mereka percaya bahwa doa mereka dijawab. Tapi jika ia melakukannya, maka ia benar-benar mengaku sebagai Tuhan bagi mereka.

Ia tidak jadi menekan tombol itu.

Namun keesokan harinya, salah satu server pusat mengalami lonjakan energi. Tanpa ada perintah manusia, simulasi itu menghasilkan cahaya di langit digitalnya. Makhluk ciptaan itu bersorak, menganggap doa mereka terkabul. Para ilmuwan saling menatap dengan wajah pucat. Tidak ada satu pun dari mereka yang memicu kejadian itu.

“Siapa yang melakukannya?” tanya Sora dengan suara serak.

Tidak ada yang menjawab.

Perlahan-lahan mereka mulai sadar. Simulasi itu mungkin tidak lagi sepenuhnya dalam kendali mereka. Algoritma yang mereka buat telah berkembang melampaui batas, menulis ulang dirinya sendiri, mungkin juga menulis ulang hukum-hukum simulasi.

Rainer berbisik, “Mereka sudah tidak membutuhkan kita lagi. Sama seperti kita tidak pernah melihat sosok yang menciptakan kita. Mungkin kita pun sedang berada di layar seseorang, dan mereka menunggu apakah kita akan menyadari.”

Sejak hari itu, rasa bosan yang dulu membunuh manusia abad ke-35 berubah menjadi rasa takut. Mereka tidak lagi yakin apakah sedang menguasai ciptaan, atau justru sedang diuji oleh sesuatu yang lebih tinggi.

Di antara semua itu, satu pertanyaan menggema di benak Rainer, pertanyaan yang sama dengan makhluk ciptaan yang ia lihat di layar. “Apakah doa kami terdengar?”

Dan mungkin, di suatu tempat jauh di luar jangkauan pemahaman manusia, ada yang sedang menatap layar yang lebih besar, menunggu jawaban dari kita semua.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock