Ketika Dunia Melupakanku
Bagaimana jika ketakutan terbesarmu bukan dilupakan….
melainkan menjadi satu-satunya yang masih mengingat?
Aku terbangun dan dunia ini tak punya nama.
Pemanas air tetap menyala pukul 07.04. Seekor kucing, yang tampaknya milikku, menggosokkan kepalanya di pergelangan kakiku seolah-olah sudah begitu sejak dulu. Piring kotor menumpuk di wastafel, tirai jendela setengah tertutup, dan ponsel bergetar dengan belasan notifikasi. Tapi saat kuambil ponsel itu, semua kontak hanya berisi deretan angka.
Tak ada nama. Tak ada foto. Tak ada kenangan.
Awalnya kupikir ini hanya gangguan sistem ponsel. Update aneh atau semacamnya. Tapi saat aku bercermin dan menyebut namaku sendiri, ada sesuatu yang bergeser di balik mataku, sebuah tekanan, rasa sesak. Suara namaku sendiri terdengar seperti pertanyaan, bukan pernyataan.
“Jason,” ulangku, lebih pelan. “Namaku Jason.”
Tak ada yang berubah. Cermin itu tak mengenalku. Bayanganku sendiri terlihat seperti seseorang yang berusaha mempercayai sesuatu yang sudah hilang.
Di luar, jalanan tampak biasa saja. Orang-orang menggiring anjing mereka. Truk pos membunyikan alarm mundur yang lelah. Seseorang berlari sambil membawa botol air yang memantul di pahanya. Tapi saat aku menghentikan seorang perempuan dan menanyakan namanya, dia menatapku seolah aku menyuruhnya memecahkan rumus matematika.
“Aku nggak tahu,” katanya, lalu tersenyum. “Lucu, ya?”
Aku ikut tertawa. Tapi itu tidak lucu.
Aku berjalan hingga sepuluh blok, mencari sesuatu, apa saja, yang bisa menunjukkan bahwa ini hanyalah mimpi. Billboard, papan nama, nisan, kartu identitas. Tapi semuanya kosong. Kotak putih menggantikan iklan. Tak ada nama jalan. Tak ada coretan di dinding. Bahkan langit terasa kehilangan bahasa.
Namun aku… aku tetap mengingat.
Aku ingat hari putriku lahir, Anna. Aku ingat tangan kecilnya menggenggam jariku saat aku mengantarnya ke sekolah dengan jas hujan warna merah muda. Aku ingat malam saat aku menjerit keras saat menyetir mobil usai perceraianku, mencengkeram kulit setir begitu keras hingga telapak tanganku terluka. Aku ingat aroma parfum ayahku saat ia menyelimuti tubuhku waktu aku lima tahun, maskulin, kayu cedar, dan sedikit aroma waktu yang menua.
Aku ingat rasa sakit.
Itulah bagian terburuknya. Karena tak ada orang lain yang mengingatnya.
Tak ada yang panik. Tak ada yang merasa kehilangan. Mereka bahkan tak sadar pernah punya sesuatu yang layak dirindukan.
Sementara aku… aku mengingat semuanya.
Rasanya seperti tenggelam di lautan yang tak disadari orang lain keberadaannya.
Aku mencoba ke kantor polisi. Seorang petugas berkulit pucat memberiku clipboard dan secangkir kopi. Tapi saat kutanya apakah dia bisa mengecek laporan orang hilang, ratusan, ribuan, semuanya, dia hanya menatapku kosong.
“Kau ingat keluargamu?” tanyaku.
Dia tersenyum samar, lalu menunduk menatap lencana yang tak lagi punya nama, hanya kepingan kuningan halus tanpa huruf apa pun.
“Tak ada yang hilang,” katanya. “Semua ada di sini. Bukankah itu cukup?”
Aku berdiri di lobi sementara seorang wanita di balik kaca menyenandungkan lagu asing sambil menyegel formulir kosong dengan teliti seperti mesin. Semuanya tampak begitu teratur. Namun rasanya ada yang salah.
Aku mundur keluar gedung itu, berdiri di bawah sinar matahari yang terasa terlalu bersih, terlalu dibuat-buat, dan tertawa. Tertawa seperti seseorang yang melihat bingkai terakhir film terbakar di proyektor.
“Bukan ini yang kuharapkan,” gumamku. Kepada siapa pun. Kepada langit. Kepada Tuhan. Kepada ingatan.
Tapi tak ada jawaban.
Hari-hari berlalu. Mungkin sudah berminggu-minggu. Waktu tetap berjalan, tapi aku tak bisa lagi merasakannya. Aku jadi seperti hantu di pesta yang tak pernah diundang. Aku berkeliaran di kafe dan perpustakaan tempat orang-orang mengetik tanpa arah, membaca buku kosong, atau menatap layar penuh simbol tak dikenal dengan ekspresi netral.
Aku pun mulai kehilangan sesuatu. Bukan kenangan, tapi makna. Kata-kata terlontar dari mulutku seperti benda mati. Aku bilang “cinta,” dan tak ada yang bereaksi. Aku bisikkan “kematian,” dan seorang barista malah tersenyum sopan sambil bertanya, “Mau pakai krim?”
Pernah aku menangis di lorong sereal sebuah supermarket saat melihat sekotak Simba Tuffis. Itu mengingatkanku pada Sabtu pagi bersama Anna. Tapi kasir hanya berkedip saat aku membayar, seperti aku adalah gangguan dalam sistem algoritmenya.
Sampai akhirnya aku menyusuri bagian barat kota, melewati terowongan bawah tanah, taman-taman terlupakan, hingga ke ujung di mana beton bertemu hutan, aku melihatnya.
Seorang gadis. Mungkin delapan atau sembilan tahun. Duduk bersila di atas karton bekas, menggambar bentuk-bentuk di tanah dengan sebatang ranting.
Ia menatapku.
“Kau juga ingat,” katanya.
Aku menelan ludahku dan berlutut di hadapannya.
“Siapa namamu?” tanyaku.
Dia tak menjawab. Tapi ia menyerahkan sebuah buku catatan, lusuh, penuh coretan arang dan bekas air mata. Di dalamnya ada ribuan nama. Gambar wajah. Lembaran penuh warna, mimpi, dan serpihan dunia.
Ia sedang menulis ulang dunia ini.
Kukunya pendek dan terkupas. Giginya ompong satu. Ia mengenakan jaket hoodie kebesaran dengan tulisan “Echo” samar-samar di dadanya. Mungkin itu namanya. Mungkin itu hanya kata terakhir yang ia ingat.
Aku duduk di sampingnya dan ikut menulis. Nama putriku. Aroma kayu manis saat ulang tahun. Sakit di dada yang datang malam saat aku benar-benar tahu apa itu rasa kesepian.
Kami menulis hingga senja. Lalu menyalakan api kecil dan membacakan halaman-halaman itu seperti doa.
Malam itu, aku bermimpi bintang-bintang mulai berkedip kembali ke langit. Satu per satu. Seolah mereka juga mulai mengingat.
Kami terus kembali. Setiap malam. Setiap sore. Kadang bersama orang-orang yang merasakan sesuatu, meski belum bisa menjelaskannya. Mereka belum ingat, tapi mereka bisa merasakan. Dan itu cukup.
Komunitas kami tumbuh. Bukan karena paksaan, tapi karena rindu. Orang-orang yang mulai terbangun dengan air mata tanpa nama. Orang-orang yang memeluk buku catatan kami seperti relik suci dan membisikkan kata-kata lama seperti sedang belajar bernapas.
Seorang pria mengingat musik. Ia membuat drum dari tutup tong sampah dan menamakannya “belas kasih”. Seorang wanita melukis kesedihan dengan spiral biru di trotoar. Anak-anak mulai menyanyikan nama-nama ke arah angin.
Tak semua bertahan. Ada yang kembali ke dunia hampa mereka, takut pada beratnya kenangan. Aku tak menyalahkan mereka. Mengingat memang menyakitkan.
Tapi bagi yang bertahan, kami membangun semacam kuil dari barang bekas, doa, dan ingatan. Tempat itu tidak suci seperti gereja ataupun masjid. Tak ada bangku. Tak ada doktrin. Hanya cerita.
Gadis itu, yang kini dikenal semua orang sebagai Echo, menulis buku baru. Ia mengisinya dengan setiap hal yang diingat. Buku itu sakral. Bukan karena suci, tapi karena kebenarannya.
Dan saat aku duduk di kuil kecil dari reruntuhan dan suara itu, aku sadar satu hal:
Kita tidak diselamatkan oleh lupa.
Kita diselamatkan oleh mengingat.