CintaFiksiPersahabatan

Di Bawah Permukaan

“Ngapain kamu ngelakuin ini? Maksudmu apa sih?!” Nadia berteriak, panik. Tangannya gerak, menahan Gavin yang mendekat. Kakinya menendang-nendang air, mencoba tetap di permukaan, tapi malah makin tenggelam.

“Aku orang yang bisa kamu percaya saat ini, Nad.”

“Dengar, Gavin….” Kepala nadia sempat tenggelam, nyaris masuk ke dalam air. Matanya membelalak.

“Jangan gerak-gerak terus. Nanti kita tenggelam berdua.” Gavin langsung menyesal mengucapkannya, apalagi saat lihat mata Nadia membesar. Bukan cuma kaget. Takut. Tapi takut karena apa?

Begitu tatapan mereka bertemu, Gavin sadar, pasti ada sesuatu yang pernah terjadi sama Nadia. Mungkin sesuatu yang buruk. Di air. Dan dia nggak pernah cerita. Ya, kenapa juga harus cerita? Mereka juga nggak sedekat itu. Bukan pacaran. Bukan juga sahabatan. Bukan berarti Gavin nolak kalau dipacarin juga sih. Tapi rasanya aneh kan ya?

“Turunin kaki kamu.”

Nadia, masih panik, nggak sadar kalau Gavin udah pegang lengan atasnya dan mulai menariknya pelan-pelan ke arah yang lebih dangkal.

“Apa?” katanya dengan napas tersengal. Fokusnya mulai kabur, bukan karena panik, tapi karena sesuatu yang lain.

“Lurusin kaki kamu, Nad. Coba injak lantai kolam.”

Dia turuti, dan baru sadar, mereka udah di bagian dangkal. Gavin masih megang pundaknya, ngebantuin dia berdiri dan tenangin diri.

Tangan Gavin turun, menggenggam lengan Nadia. Lembut. Dia pengen bikin Nadia senyum. Ketawa. Apa aja, asal bukan wajah ketakutan kayak tadi. Dia nggak akan biarin Nadia tenggelam. Nggak akan pernah. Tapi kenapa Nadia mikir dia bakal tenggelam?

“Mau kita mulai dari awal lagi? Mungkin belajar tahan na….”

“Aku bisa tahan napas di air, kampret,” Nadia menyambar cepat, cemberut. Gavin cuma nyengir.

“Udah deh, jangan nyengir begitu,” katanya sambil ngibasin tangan ke wajah Gavin, lalu menunduk, menghindari tatapan. Dia tahu Gavin nggak bakal suka kalimat selanjutnya.

Masih mandangin air, Nadia ngomong pelan, “Bisa nggak kita selesai aja? Kita keluar sekarang?”

Gavin diam sebentar sebelum jawab, “Kalau aku nyerah sekarang, guru kayak apa aku? Kamu tadi udah bisa ngapung di tengah. Kamu kuat. Sampai kamu panik. Aku nggak bakal biarin kamu celaka. Tapi aku harusnya tunjukin yang ini dulu.”

Dia ulurkan tangan. “Sini.”

“Gavin, aku…”

“Sini dulu, ya. Tolong.” Suaranya serius, bikin Nadia kaget. Tapi akhirnya dia maju. Dia tahu Gavin nggak akan ninggalin dia. Tapi kejadian tadi masih fresh banget.

Nadia mengepalkan tangan, tubuhnya kaku. Gavin lihat, tapi pura-pura nggak tahu.

“Nadia,” katanya lembut, menempatkan dirinya di samping Nadia. “Kamu ngerasain lenganku di belakangmu?” Nadia angguk. “Sandarin badan kamu. Pelan aja.”

Dia turunkan lengan pelan, membiarkan Nadia rebahan di permukaan air. “Angkat kakimu.”

Nadia menatap curiga. Gavin angkat tangan. “Boleh aku sentuh kakimu? Biar bantu seimbang.” Nadia angguk lagi, pelan.

“Mengapung itu penting,” ucap Gavin. Suaranya sempat serak, lalu dia batuk kecil. “Bukan cuma buat rileks, tapi juga teknik bertahan kalau capek berenang. Tinggal balik badan, tarik napas, istirahat.”

Mereka berputar pelan di air, Gavin kasih tahu cara bernapas, cara mengatur tubuh, cara percaya. Bukan cuma ke dia, tapi ke diri sendiri juga.

“Kamu bisa lepasin aku sekarang,” bisik Nadia. Matanya tertutup. Suara Gavin dan gerakan air bikin dia hampir tertidur.

“Oke,” jawab Gavin. Dia nggak bilang bahwa dari tadi dia udah nggak megangin Nadia. “Aku di sini kalau kamu butuh.”

Senyum yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Gavin ngerasa lega banget. Nggak tahu berapa lama waktu berlalu sampai Nadia berdiri lagi. Dia nggak bisa berhenti mandangin Nadia.

“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya pelan.

Nadia mengangguk. Mulutnya sempat terbuka, kayak mau ngomong. Gavin nunggu.

“Iya. Aku… aku suka tadi. Aku belum pernah merasa kayak gitu sebelumnya di air. Makasih ya, Gavin,” katanya sambil menatap mata Gavin. “Makasih.” Tapi kali ini matanya berkaca-kaca. Gavin langsung mendekat.

Nadia cari-cari ekspresi sombong di wajah Gavin. Tapi nggak ada. Saat itu, dia bukan cuma sahabat kakaknya. Dia temannya juga. Mungkin dia belum siap cerita semuanya. Tapi dia bisa mulai.

“Dulu banget,” Nadia mulai. “Ada orang yang aku sayang dan aku percaya. Dia nyakitin aku. Di air.” Suaranya kecil banget. “Aku kira aku udah bisa ngelupain. Tapi ternyata, nggak semudah itu.” Air matanya nyaris jatuh. “Maaf aku bentak kamu. Maaf aku panik. Tapi aku senang, kamu yang ngajarin aku berenang.”

“Hey, lihat aku.” Gavin angkat dagunya pelan, satu tangan menggenggam tangan Nadia. “Aku udah curiga, tapi nggak mau maksa. Kamu bisa cerita kapan pun kamu siap. Dan kamu nggak perlu minta maaf buat hal yang nggak kamu bisa kendalikan.”

Nadia ragu sejenak, lalu mengangguk. Air mata yang hampir jatuh itu perlahan menghilang. Tanpa pikir panjang, dia nyandar ke dada Gavin. Dia akhirnya bisa bernapas tenang.

Beberapa detik kemudian, Gavin mundur pelan, masih pegang bahunya. “Kita belajar sesuai ritmemu. Harusnya aku lebih peka. Aku senang ternyata bukan aku yang jadi masalah. Tapi aku tetap harus nanya…”

“Kamu nggak bakal aku kasih tahu waktu itu. Tapi setelah tadi,” dia melirik ke kolam dalam, “dan setelah yang barusan,” dia lirik ke Gavin, “kita bisa mulai ngobrol. Barusan tuh, aku ngerasa kayak terbang. Kayak bebas. Aku pengen ngerasain itu lagi. Ini hal baru bagiku. Aku bego banget mikir ini bakal gampang. Tapi aku mau terus coba.”

Gavin mengangguk paham. “Bukan bego, cuma optimis.”

Tiba-tiba, perut Nadia bunyi kenceng.

Gavin langsung ketawa. Nadia pegang perut, malu.

“Gimana kalau kita bilas terus cari makan? Aku juga lapar, tapi kamu sepertinya yang paling heboh,” katanya sambil naik ke pinggir kolam.

Nadia cemberut, matanya menatap tubuh Gavin yang berkilau air. Cara dia naik dari kolam kayak gampang banget… dan entah kenapa, bikin dia lapar lagi.

Gavin berdehem, nyadar Nadia lagi merhatiin.

“Iya iya, bodo amat,” Nadia pura-pura kesel, jalan ke arah tangga. Dia ngerasa otaknya berantakan. Dia butuh makan, ngobrol sama psikolog, mungkin tidur sebentar. Abis itu pasti normal lagi… kan? Iya, kan. Ya, semoga aja.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button
Close

Adblock Detected

Support Kami Dengan Mematikan Adblock